Untuk membedakannya tidaklah sulit. Jika diteliti secara seksama, akan ditemui bahwa masing-masing kaki dan tangannya memiliki empat jari, berbeda dengan manusia biasa yang berjari lima.
Aku menyegerakan kunjungan, dan secepatnya pergi membeli tiket. Sambil menunggu keberangkatan kereta, aku mengikuti berita melalui telepon genggam dan televisi yang tergantung di gerbong. Berita-berita masih simpang siur.
Akhirnya diputuskan kereta diberangkatkan, berjalan pelan-pelan sambil menilai keadaan kota tujuan.
Di sebelahku duduk seorang pria yang sedang menunduk memandang gawainya, mungkin menyimak berita-berita simpang-siur. Aku tidak terlalu memerhatikannya, lebih baik memejamkan mata dan berusaha tidur.
Menjelang stasiun tujuan aku terjaga, melihat dari balik jendela pemandangan menggetarkan di jalanan. Ban-ban bekas terbakar bergelimpangan. Pertokoan hangus merana menyisakan penderitaan.
Kendaraan tidak tampak kecuali mobil aparat berwarna hijau tua, mengincar perusuh yang menyebar di balik gelapnya belantara reruntuhan bangunan.
Aku bergetar melihatnya. Kereta berjalan amat hati-hati, seolah berjingkat agar roda-roda besi di atas rel tidak menggemeretak, memecah kelam yang muram.
"Mengerikan ya?", pria disampingku membuka percakapan.
Pria itu pandai menghidupkan suasana, sebentar saja berbuih-buih membualkan perkembangan terakhir. Sesaat, kami merupa pakar sosial, budaya, politik, dan komunikasi sekaligus.
"Tinggal dimana?", tanya pria itu.
"Cukup jauh dari stasiun, dua kali ganti jika naik angkutan kota", sambil kusebut daerah pemukiman padat pinggiran kota.