Belum lama, di ruang publik ramai dibicarakan tentang kekeliruan dalam naskah draf Rancangan Undang-undang (RUU) dan surat resmi produk pemerintah, dengan dalih "salah ketik".
Alasan salah ketik dikemukakan oleh Saefullah, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, menampik tudingan Ketua DPRD DKI mengenai dugaan manipulasi data yang dilakukan oleh Pemprov DKI kepada Kementerian Sekretariat Negara dalam proses perizinan penyelenggaraan Formula E di kawasan Monas.
Dalih serupa dilontarkan oleh Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, dalam draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang diajukan persetujuannya ke DPR.
Menko Polhukam, Mahfud MD pun mengaku baru mendengar ada pasal yang bunyinya seperti itu. Dia sebagai pakar hukum dan mantan ketua MK ikut merasa terusik. Dia pun mengira, ada salah ketik.
Kekeliruan ketik dalam naskah resmi juga pernah terjadi dalam draf Revisi UU nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan baru diketahui setelah pengesahannya oleh Sidang Paripurna DPR tanggal 17 September 2019.
Terlepas dari perdebatan perihal substansi RUU dan surat resmi, yang notabene merupakan produk hukum dari sebuah instansi pemerintah, dan dari kacamata birokrasi, perlu dipertanyakan mengenai kualitas pejabat publik yang mendapat gaji dari uang rakyat itu. Sejauh mana tanggung jawabnya atas peristiwa salah ketik itu?
Pemerintah diatur oleh sistem birokrasi yang rumit, dibagi sesuai tugas, terdiri dari garis komando yang jelas dan berkewenangan dengan koordinasi serta pengawasan hierarkis.
Oleh karenanya, birokrasi merupakan hubungan administratif yang rasional dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi sebagai antitesis dari hubungan kekerabatan, budaya patrimonial atau atau kekuasaan yang bertumpu kepada satu kepemimpinan karismatik saja.
Undang-undang Republik Indonesia telah mengamanatkan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas pejabat pemerintah, dan seterusnya.
Esensi ketentuan hukum tersebut tidak banyak berbeda dengan teori Max Weber, yang menyebutkan ciri-ciri birokrasi ideal: Kerja ditentukan oleh peraturan; Penugasan khusus (spesialisasi); Rigid; Formalitas; Hierarkis; Rasional; Otoritas tersentralisasi; Ketaatan penuh; Disiplin ketat; Runut atau sistematis; Impersonal.
Dengan mengacu kepada landasan teoritis di atas dan UU yang mengaturnya, pemerintah Republik Indonesia dikelola oleh sistem birokrasi yang rumit, dibagi sesuai tugas, terdiri dari garis komando yang jelas dan berkewenangan, kaku, rasional, diisi oleh personil yang akuntabel, dan dengan koordinasi serta pengawasan hierarkis.