Perkembangan dunia maya memang begitu pesat. Banyak orang memanfaatkan media sosial, untuk menyebarkan informasi tentang apa saja. Tak heran banyak orang suka dengan media sosial atau segala aktifitas di dunia maya, karena menawarkan berbagai kemudian. Kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dengan hanya satu klik saja di smartphone. Ironisnya, kemajuan teknologi itu justru sering disalahgunakan oleh orang tak bertanggung jawab, untuk menyebarkan konten provokasi, ujaran kebencian dan propaganda radikalisme.
Penyebaran kebencian jelas sangat merugikan kita semua. Kita semua mungkin pernah merasakan, bagaimana ramainya media sosial ketika masuk tahun politik. Ketika ramainya berhubungan dengan hal yang positif mungkin tidak masalah. Tapi media sosial justru dipenuhi dengan maraknya ujaran kebencian. Jika kita melihat aktifitas di media sosial, terkadang membuat kita miris. Begitu mudahnya saling caci, saling menjatuhkan, saling persekusi. Dan semua perdebatan tak berujung di media sosial itu, seringkali berujung pada praktek persekusi di dunia nyata.
Ujaran kebencian dan provokasi di dunia maya telah merusak kerukunan yang selama ini sudah tercipta. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan agama. Jumlah penduduk di Indonesia juga tidak sedikit, lebih dari 270 juta jiwa. Bisa dibayangkan, orang sebanyak itu tentu juga mempunyai banyak karakter yang berbeda. Karena keragaman itulah yang seringkali dipersoalkan oleh kelompok radikal.
Kenapa mereka sering mempersoalkan tentang keberagaman? Karena mereka merasa bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Karena itulah, segala sesuatunya harus didasarkan pada hukum Islam. Pancasila dianggap tidak relevan lagi, dan harus diganti dengan konsep khilafah. Model provokasi semacam ini harus diwaspadai. Karena mereka seringkali mencari kambing hitam, menyalahkan pemerintah, dan memprovokasi orang lain untuk mewujudkan keinginannya.
Mungkin kita masih ingat, salah satu ormas keagamaan yang dibubarkan oleh pemerintah pada akhir tahun lalu. Disatu sisi ormas tersebut mengklaim menegakkan agama, tapi disi lain justru jarang menunjukkan perilaku yang sesuai dengan anjuran agama. Ucapan dan perilaku yang ditunjukkan justru lebih dekat dengan praktek intoleransi. Padahal kita tahu, semua agama yang ada di negeri ini mengajarkan tentang toleransi, bukan intoleransi.
Karena itulah, para warganet harus menjadi netizen yang smart. Jangan mudah terpancing dengan setiap informasi yang berkembang. Netizen yang cerdas mampu membentengi dirinya dari segala pengaruh buruk. Salah satu yang bisa dilakukan dengan cara memperkuat literasi digital.Â
Dengan memperkuat literasi, kita akan bisa mendapatkan informasi secara utuh. Tidak sepotong-sepotong. Disamping itu, informasi yang valid juga harus diimbangi dengan analisa yang kuat. Tinggal pisau analisanya menggunakan sudut pandang yang mana. Intinya adalah jangan pernah langsung percaya informasi yang sifatnya sepihak saja.
Jika generasi milenial terbiasa melakukan literasi digital, maka generasi peneruh negeri ini akan berkembang menjadi generasi yang kritis sekaligus cerdas. Tidak hanya asal bicara, tapi dilengkapi dengan data. Sekali lagi, radikalisme adalah akar dari terorisme. Mari kita terus meningkatkan kewaspadaan, terhadap segala bentuk radikalisme, apapun itu bentuknya. Jika kita sudah menyadarinya, diharapkan kita tetap bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Salam damai.