Mohon tunggu...
Budi Kurniawan
Budi Kurniawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Politik Para Begawan: Catatan Kritis Pemilihan Rektor Unila 2015

26 Juli 2015   19:07 Diperbarui: 26 Juli 2015   19:56 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi dosen biasa dan orang umum seperti penulis yang tidak punya akses ke kekuasaan pemilihan rektor unila secara langsung melihat berita dan gosip-gosip seputar pemilihan rektor membayangkan pesta para demokrasi para begawan. Bagaimana tidak, rektor unila dipilih oleh mereka yang disebut kaum intelektual tinggi, para dosen yang umumnya bergelar Doktor yang layak disebut para begawan. Begawan yang memiliki sikap bijak karena kedalaman ilmu sehingga politiknya adalah politik yang adiluhung. Rektor yang terpilih pun adalah rektor yang paling begawan, karena ini adalah lembaga akademik, lembaga dimana para begawan mengajarkan ilmu dan mendidik anak bangsa ini, sehingga wajar rektor terpilih adalah rektor yang terbaik dari para begawan yang ada.

Dalam praktiknya umumnya di universitas terbaik di luar negeri yang terpilih adalah yang terbaik dari mereka. Baru-baru ini Australian National University baru juga memilih rektor yang baru. Yang terpilih adalah peraih nobel bidang fisika 2012, Professor Brian Schmidt. Menariknya ia menggantikan Professor Ian Young yang mundur karena merasa "menderita" menjadi rektor. Ian Young lebih ingin fokus berkarya, meneliti dan menulis banyak jurnal di bidang kelautan ketimbang mengurus manjerial kampus. Inilah praktik bagaimana politik para begawan itu. Yang terbaik yang dipilih, dan yang menjabat merasa menderita. Sesuai dengan perkataan founding father kita, Haji Agus Salim, bahwa memimpin itu sesungguhnya menderita. Karena itu para begawan melihat politik itu bukan masalah kekuasaan tetapi masalah penderitaan akibat amanah yang dipegang. Akibatnya mereka cenderung menghindar.

Apakah contoh ideal ini ada di kampus Unila ? Kita mendengar ada calon rektor yang sibuk loby-loby ke sebuah ormas Islam agar suara menristekdikti beralih ke dirinya. Kita juga mendengar para calon rektor membuat tim sukses persis sama seperti yang dilakukan para politikus yang mau bersaing dalam pemilukada. Kita juga mendengar mereka mengadakan pertemuan untuk bagi-bagi kursi jabatan wakil rektor mirip politik dagang sapi di senayan. Di sisi yang lain kita tidak pernah dengar apa yang jadi visi-misi mereka. Apa yang mereka mau lakukan untuk membenahi birokrasi kampus yang mematikan iklim akademik misalnya. Semua itu nyaris tidak terdengar. Artinya politik para begawan itu hanya angan-angan. Yang ada politik para elite politikus yang jauh dari politik adiluhung.

Unila memiliki banyak insan akademik yang berkualitas. Ada lulusan universitas-universitas terbaik di dunia yang memiliki reputasi akademik internasional. Tetapi mengapa mereka tidak muncul ? Kenapa yang muncul menjadi calon rektor yang namanya itu-itu saja ? Ini terjadi karena memang mereka bukan politikus, sedangkan sistem pemilihan rektor Unila masih mengedepankan bahwa siapa yang pintar melobi para senat wakil fakultas dengan janji jabatan adalah mereka yang menang. Yang menjadi transaksi politik adalah jabatan bukan visi dan misi. Akibatnya mereka yang berprestasi tetapi tidak memiliki jiwa politikus tidak muncul di permukaan. Mereka hanya jadi penonton di dalam hiruk pikuk pemilihan rektor kali ini.

Para senator wakil fakultas-pun yang punya hak suara pola perwakilannya bukan lagi mewakili konstituennya tetapi mewakili pribadi. Mereka sudah lupa bahwa mereka bukan diberi cek kosong persis seperti guyonan pilkada dan pil KB "yang jika sudah jadi lupa". Seharusnya para senator itu terus membuka hubungan dialogis dengan yang memilihnya. Forum-forum yang diistilahkan dengan "ruang publik" oleh Habermas yang mempertemukan antara konstituen dan senator sangat minim. Bahkan hanya untuk berdialog di media sosial seperti facebook yang mudah dan gratis saja para pemilik hak suara dan para calon rektor itu enggan. Padahal katanya sekarang era demokrasi digital. Walaupun ada dialog visi misi waktunya hanya dua jam di hari Jumat yang lalu. Dua jam untuk berbicara masa jabatan empat tahun ke depan sungguh sangat minim. Demokrasi di Unila masih demokrasi elite bukan demokrasi rakyat yang dalam bahasa kerennya disebut demokrasi deliberatif.

Pemilihan rektor kali ini juga melupakan stake-holders yang penting dalam dunia akademik yakni mahasiswa, karyawan dan alumni. Mereka seolah-olah dilupakan padahal mereka akan merasakan juga dampak dari pemilihan rektor ini. Walaupun mereka tidak punya hak suara, seharusnya mahasiwa diajak dialog oleh para calon rektor, begitupula para karyawan dan alumni. Di saat kampus-kampus BHMN seperti UI, UGM dan ITB memberi peluang bagi mahasiswa, dan alumni untuk memilih rektor dengan duduk sebagai wakil mahasiswa di Majlis Wali Amanah ( MWA), institusi tertinggi yang memilih rektor, unila sudah seharusnya tidak berpandangan bahwa urusan memilih rektor hanya urusan para dosen. Momen Jum'at kemarin yang mempertemukan para rektor dengan mahasiswa dan karyawan hanya berlangsung tidak sampai dua jam. Bisa dikatakan demokrasi di Unila hanya demokrasi kurang dua jam.

Tinggal menunggu hari pemilihan rektor itu terjadi. Sebagai dosen biasa penulis tentu mendukung cita-cita unila menjadi kampus terbaik di negeri ini. Untuk itu tulisan ini adalah pesan moral bagi mereka yang sedang berpolitik untuk memperebutkan kursi rektor bahwa tugas bapak-bapak itu berat kedepannya. Ketika akses kepada kekuasaan terbatas, ketika demokrasi dialogis yang delibetatif tidak terwujud hanya tulisan ini menjadi media bagi kami intelektual yang masih berpikir waras.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun