Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Satria Arta dan Ancaman Tentara Bayaran: Prabowo di Antara Kemanusiaan dan Hukum

23 Juli 2025   13:47 Diperbarui: 23 Juli 2025   14:14 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generated by AI (OpenAI, ChatGPT Image Generator)

Ketika seorang mantan prajurit TNI menangis di hadapan kamera dan memohon pulang ke tanah air, publik bereaksi antara simpati dan skeptisisme. Dialah Satria Arta Kumbara, eks Marinir TNI AL yang kini viral karena permintaan maaf terbukanya kepada Presiden Prabowo Subianto setelah bergabung sebagai tentara bayaran Rusia. Ia mengaku tidak tahu bahwa keputusannya bisa membuatnya kehilangan status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Namun, di balik drama air mata dan empati publik, tersembunyi sebuah pertanyaan mendasar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan rasa iba: apakah negara harus mengorbankan wibawa hukum demi kemanusiaan?

Ketegasan Hukum: Ketentuan yang Tidak Bisa Ditawar
Hukum Indonesia mengatur secara tegas perihal siapa yang dapat disebut sebagai warga negara dan bagaimana seseorang bisa kehilangan status tersebut. Pasal 23 huruf (d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyatakan:
"Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden."

Fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa Satria telah bergabung ke dalam dinas militer Rusia tanpa izin Presiden Republik Indonesia. Meskipun tindakannya terjadi setelah ia dipecat dari TNI AL, tindakan itu tetap memenuhi unsur hukum untuk kehilangan kewarganegaraan secara de jure.

Dalam konteks ini, hukum tidak memberikan ruang pada alasan ketidaktahuan. Prinsip ignorantia legis non excusat (ketidaktahuan terhadap hukum tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum) tetap berlaku. Dengan demikian, status hukum Satria bukan ditentukan oleh perasaan atau alasan ekonomi, tetapi oleh fakta dan norma hukum yang berlaku.

Prabowo dan Negara dalam Dilema
Sebagai Presiden Republik Indonesia sekaligus mantan tokoh militer, Prabowo Subianto menghadapi ujian moral sekaligus hukum dalam kasus ini. Di satu sisi, ada rasa tanggung jawab terhadap mantan prajurit yang tengah kesulitan. Di sisi lain, ada konsekuensi serius jika negara menunjukkan kelonggaran terhadap pelanggaran hukum berat, apalagi yang menyangkut kesetiaan terhadap negara dan prinsip kedaulatan nasional.

Jika negara memulangkan Satria tanpa terlebih dahulu menegakkan aturan tentang kewarganegaraan dan dinas militer asing, maka wibawa hukum nasional akan luntur. Ini bisa menjadi preseden yang membahayakan: setiap orang yang bergabung dengan tentara asing bisa mengklaim "tidak tahu" dan meminta pulang ketika keadaan menjadi sulit.

Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Namun dalam konteks ini, justru penerapan hukum secara adil dan tanpa kompromi yang menjamin integritas kebangsaan kita.

Aspek Kemanusiaan: Haruskah Dihilangkan?
Tidak ada yang menyangkal bahwa Satria adalah manusia yang sedang terpuruk. Ia mengaku menandatangani kontrak militer Rusia karena alasan ekonomi. Ia meminta maaf, bahkan bersumpah dengan nama Allah bahwa tidak berniat mengkhianati negara.

Namun, hukum tidak serta-merta dikesampingkan hanya karena air mata dan sumpah. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dalam Pasal 19, memang mewajibkan negara melindungi WNI di luar negeri. Namun perlindungan ini hanya berlaku bila status WNI masih melekat. Bila Satria telah kehilangan status WNI akibat perbuatannya sendiri, maka negara tidak lagi berkewajiban secara hukum untuk memfasilitasi kepulangannya.

Kemanusiaan tetap penting, tetapi harus ditempatkan setelah kepastian status hukum ditegakkan. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusan menegaskan bahwa hak asasi manusia tidak boleh melanggar kepentingan umum, ketertiban, dan kedaulatan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun