Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penjara Cipinang Jadi Basis Kejahatan Siber: Napi Eksploitasi Anak Lewat Open BO

21 Juli 2025   06:53 Diperbarui: 23 Juli 2025   08:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber  Vektor Stok oleh ©Seamartini 87903706 https://share.google/IkCDa16Mq0mBX0MLm

Kasus terbongkarnya jaringan prostitusi anak yang dikendalikan langsung oleh seorang narapidana di Lapas Cipinang bukan sekadar berita kriminal biasa. Fakta ini memperlihatkan betapa rapuh, bobrok, dan lalainya sistem pengawasan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kita. Penjara yang seharusnya menjadi tempat pembinaan, justru kini menjelma menjadi markas baru kejahatan, bahkan dengan korban anak-anak.

Lebih dari sekadar mengejutkan, kasus ini sekaligus mengonfirmasi apa yang selama ini sering diduga oleh masyarakat: akses komunikasi napi di balik jeruji bisa bebas dibeli, teknologi bisa diselundupkan, dan kejahatan tetap bisa dikendalikan, bahkan dari balik pintu besi yang seharusnya tertutup rapat. Maka, publik tidak keliru bertanya: untuk apa vonis penjara dijatuhkan, jika napi tetap bebas mengatur kejahatan dari dalam

Eksploitasi Anak Lewat Media Sosial dari Balik Penjara
Dalam perkara ini, narapidana berinisial AN (40) terbukti memanfaatkan media sosial X (Twitter) untuk mempromosikan jasa prostitusi anak di bawah umur. Ia merekrut anak-anak perempuan usia 16 tahun, mempromosikan mereka, menentukan tarif, dan mengatur semua transaksi dari balik Lapas menggunakan ponsel ilegal. Ironisnya, praktik ini berlangsung bukan sebulan dua bulan, tetapi bahkan hingga dua tahun.

AN mematok tarif Rp 1,5 juta untuk setiap layanan "Open BO". Para korban diberi bayaran antara Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Praktik ini berjalan mulus hingga polisi menyamar sebagai pelanggan dan menangkap korban yang sedang menunggu pelanggan di sebuah hotel.

Ini Bukan Sekadar Pelanggaran, Ini Kejahatan Berlapis
Apa yang dilakukan oleh napi Cipinang ini sejatinya bukan kejahatan tunggal, melainkan kejahatan berlapis. Ia mengeksploitasi anak-anak secara seksual, memperdagangkan mereka secara sistematis dengan melibatkan jaringan daring. Kejahatan ini bukan saja melanggar hukum pidana umum tentang perlindungan anak, tetapi juga menyentuh ranah perdagangan orang (TPPO), serta kejahatan siber berbasis teknologi informasi (ITE).

Dalam hukum positif kita, setiap orang yang memanfaatkan anak di bawah umur untuk tujuan seksual  baik langsung maupun tidak langsung  diancam dengan pidana berat. Perlindungan anak diatur sangat tegas karena melibatkan korban yang belum dewasa, belum memiliki kapasitas hukum penuh, dan belum dapat melindungi dirinya sendiri. Bahkan pelaku yang memiliki kekuasaan lebih, seperti orang dewasa, lebih-lebih narapidana, seharusnya dihukum lebih berat.

Di samping itu, praktik ini memenuhi unsur perdagangan orang, karena eksploitasi anak untuk tujuan seksual secara komersial merupakan salah satu bentuk perdagangan manusia yang diatur tegas dalam hukum internasional maupun nasional. Tidak hanya itu, penggunaan media sosial dan ponsel untuk menyebarluaskan konten asusila anak-anak juga termasuk pelanggaran hukum di bidang informasi elektronik.

Negara yang Lalai, Sistem yang Gagal
Kasus ini lebih dari sekadar soal satu orang narapidana. Kasus ini menohok kita semua tentang betapa buruknya pengawasan di balik tembok penjara. Tidak mungkin ponsel bisa bebas beredar tanpa adanya kelalaian  atau lebih buruk lagi, permainan uang  di antara petugas Lapas. Ini bukan semata pelanggaran prosedur, ini indikasi kuat lemahnya pengawasan, lemahnya integritas, dan lemahnya komitmen negara terhadap perlindungan anak dan pemasyarakatan itu sendiri.

Lapas Cipinang sebagai lembaga negara terbukti gagal total. Fungsi pemasyarakatan yang seharusnya membina narapidana, kini justru melahirkan kejahatan baru yang lebih canggih. Negara melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan seharusnya bertanggung jawab, bukan sekadar melakukan klarifikasi atau menyalahkan "oknum". Ini sistem yang sudah busuk dan harus dirombak total.

Dampak Sosial Lebih Dalam: Anak Bukan Sekadar Korban, Tapi Luka Bangsa
Eksploitasi seksual anak bukan sekadar pelanggaran pidana, tapi luka sosial yang sangat dalam. Anak-anak ini bukan saja menjadi korban secara fisik, tapi juga secara psikis, sosial, bahkan masa depannya dirampas. Mereka akan tumbuh dengan trauma, dengan luka batin, dan dengan stigma masyarakat. Sementara negara yang gagal melindungi mereka, seakan abai setelah berita ini reda.

Padahal, Konstitusi kita sudah jelas: setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Maka, membiarkan praktik semacam ini terjadi dari balik lembaga negara adalah bentuk nyata kegagalan negara melaksanakan amanat UUD 1945.

Negara Wajib Bertindak, Bukan Sekadar Menangkap Pelaku
Pemerintah tak boleh berhenti hanya pada penambahan hukuman bagi pelaku. Kasus ini seharusnya jadi pintu masuk untuk:
- Mengusut tuntas oknum petugas yang terlibat.
- Melakukan audit menyeluruh terhadap pengawasan di Lapas.
- Mereformasi sistem keamanan digital di Lapas (blokir IMEI, signal jammer).

Mengembalikan fungsi penjara sebagai tempat pemasyarakatan, bukan tempat menjalankan bisnis haram.

Lebih dari itu, negara juga wajib memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan sosial bagi anak-anak korban. Mereka adalah korban, bukan pelaku. Mereka adalah generasi yang seharusnya diselamatkan, bukan dibiarkan tenggelam oleh kegagalan sistem hukum kita.

Penutup: Jeruji Besi Tak Lagi Menahan Kejahatan, Tapi Memeliharanya
Kasus ini menjadi cermin buruk betapa lemahnya sistem pemasyarakatan di negeri ini. Jika penjara gagal membatasi ruang gerak kejahatan, maka vonis tak lagi berarti. Jika narapidana bisa lebih bebas mengatur kejahatan dari dalam, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan hancur. Dan jika korban adalah anak-anak, maka yang kita pertaruhkan bukan hanya hukum, tapi masa depan bangsa ini.

Negara harus menjawab: Mengapa jeruji besi kalah oleh sebuah ponsel?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun