Di sebuah universitas swasta yang masuk lima besar di Jakarta, ada sekelompok mahasiswa yang lebih dikenal karena nongkrongnya daripada prestasi akademiknya. Mereka semua punya markas sederhana: sebuah pohon tua di samping lapangan parkir fakultas ekonomi. Pohon itu rindang, akarnya merambat ke tanah, batangnya jadi saksi banyak tawa, omelan, bahkan tangis.
Gang itu akhirnya diberi nama sendiri oleh penghuninya: Gang Pohon.
Dan mereka --- dengan bangga sekaligus pasrah --- dikenal sebagai "anak-anak pemalas."
Ada beberapa kubu di sana berwarna-warni : ada kelompok yang doyan judi, ada yang kerjaannya main PS, ada anak-anak pecinta alam, ada yang sibuk ngejar cewek sampai ke kampus tetangga, sampai rombongan narkoboy yang suka ngilang entah ke mana.
Dan di antara mereka, ada tokoh-tokoh yang sampai sekarang masih melekat di kepala.
Di bawah Pohon itu, tiap kelompok punya jagoannya. Kalau soal kartu, Doni rajanya. Kalau soal PS, Ipay yang paling sakti. Tapi kalau urusan perempuan, ada satu nama yang selalu disebut dengan nada setengah kagum, setengah iri: Jendral.
Kenapa Jendral?
Bukan karena dia pernah ikut militer. Pangkat itu diberikan karena "pengalaman tempur"-nya paling tinggi dibanding semua penghuni Pohon. Sejak semester awal, cerita-cerita tentang dia selalu lebih liar daripada apa yang bisa kami bayangkan.
Awalnya aku nggak percaya. Masa sih ada mahasiswa yang bisa sebegitu gampangnya berurusan dengan perempuan?
Sampai suatu malam minggu, aku diajak naik Mazda 323 nya ke Blok M. Malam masih muda, jalanan penuh lampu dari Gedung pertokoan. Di sekitaran sana, perempuan-perempuan malam sudah berjejer di trotoar, melempar senyum ke setiap mobil yang melambat.
Begitu mobil Jendral lewat, aku sempat bengong:
"Jendral! Mampir sini dong!"
"Halo, Jendral!"
Aku cuma bisa ketawa nggak percaya. Mereka manggil dia dengan nama panggilan yang kita buat di tongkrongan. Jadi ternyata bukan sekadar mitos.