Mohon tunggu...
Cerpen

Taman Bunga Merah

16 Februari 2018   07:13 Diperbarui: 16 Februari 2018   07:40 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Sore itu ibu yang sudah menunggu dengan sabar untuk kemalasanku, dengan cuaca yang sedikit mendung ibu mengajakku pergi ke kebun. Biasanya dengan banyak alasan aku akan mengelak untuk menuju kebun atau ketika berangkatpun aku hanya akan membuntuti ayahku yang sedang mengamati batang-batang pohon buah naga. Yaps, sudah sekitar 4 tahun orang tuaku bergelut dengan buah naga. Tapi dalam waktu itu aku hampir tidak pernah berlama-lama dikebun, karena pulangpun aku memang sangat jarang, hehehe.

Nah kali ini ibu tetap memaksaku untuk berangkat kekebun, karena takut jika sampai kesorean, akhirnya aku mengalah dan dengan baju seadanya aku berangkat. Jarak kebun dan rumahku tidak terlalu jauh, namun jika berjalan mungkin sedikit melelahkan, karena kita harus menyimpan tenaga yang banyak untuk mengelilingi luasnya kebun tersebut. 

Karena musim hujan yang terus mengguyur, jalananpun menjadi becek, hingga perlu kehati-hatian yang lebih untuk melewatinya. Beberapa kali aku juga turun dari bangku boncengan sepeda motor, karena jalan yang naik turun membuat roda sepeda mudah untuk terpeleset. Ibuku dengan santainya tetap mengontrol sepeda yang kitatunggangi dengan lincah.

Sampai lah kita dikebun buah naga yang mempunyai luas 1 hektare ini. Tidak usah memandang terlalu jauh, karena kali ini sedang musim-musimnya, membuat sepanjang kita melihat akan ada bulatan-bulatan merrah yang mengelilingi pohon yang mirip kaktus tersebut. Ibu memarkir sepeda didepan gubuk yang sedah terdapat tumpukan buah naga, itu adalah hasil panen dari bapak yang bekerja di kebun ini.

Ibu langsung memberiku gunting pemotong dan mengajakku berjalan mendekati pohon untuk segera memanen. waktu memotongnya aku hati-hati sekali, karena selain duri-duri lancip yang siap menusukku, aku juga khawatir jika merusak pohon dan buahnya. Tak lama setelah itu ibu yang dari tadi di sampingku mulai melirik isi tas yang aku bawa "loh, tas ibu sudah penuh, punyamu mana?" kulihat hasil ibu memanen memang hampir memenuhi tas besar, sedangkan aku setengahpun belum. "hehehehe" aku Cuma bisa cengengesan. "takut gunting ngerusak pohon sama buahnya" aku mulai mengeles. "gapapa. Kan dahannya banyak, asal jika ada bunga disampingnya jangan sampai patah dahannya. Kalau tidak ada ya dahanyya patah ngga papa" terang ibu.

Akupun sudah mulai terbiasa dengan cara memotong buah naga. Ternyata gampang sih, asal jangan dekat-dekat dengan buah. Karena khawatir jika buahnya tertusuk dengan gunting. Oh iya, untuk memotong buah, kita harus memotong dibagian dahnnya ya, agar buah awet segar dan tidak cepat membusuk.

Karena asyik melihat buah yang bergantungan di ujung-ujung batang pohon aku mulai tidak sabar dan berusaha secepat mungkin menyamai kelincahan ibu. Tidak lama setelah itu "plook" seketika aku menjerit menahan sakit. Karena keasyikan mengamati buah yang berada dibawah hingga aku tidak sadar bahwa ada banyak dahan yang menjulang, akhirnya langsung saja aku sosor dengan kening. 

Duri-duri lancip itu menggores keningku, yang paling menyakitkan yaitu beberapa duri juga langsung menusuk dahiku. Rasana linu sekali. Ibu tertawa cekikikan "makanya hati-hati, dilihat juga atasnya. Biar ngga langsung nyosor duri" aku membalas dengan cemberut yahh masak ada anaknya yang kesakitan malah ketawa-ketawa.

Setelah istirahat beberapa menit dan membasuh lukaku, aku mulai memanen kembali disebelah ibu,

"lah ndook, udah mau hujan ini, itu suaranya sudah kedengaran" memang dari kejauhan terdengar ada gemuruh, tapi aku penasaran

" lah, masak kayak gitu suara hujan buk?? Kayak suara angin kok"

"bukan, itu memang suara hujan, ayo cepet kamu berteduh" sahutnya kembali.

"nanggung buk, selesaikan satu deret ini saja deh"

Tidak lama setelah itu memang mulai ada hujan rintik dan disusul dengan hujan deras. "ayo cepet kamu berteduh" kata ibu.

"lah ibu??"

"ibu mau hujan-hujanan" sambil mengedipkan sebelah matanya.

Wahh kayaknya seru nih, batinku. Tanpa mendengarkan kata-kata ibu, aku tetap saja memetik buah disekitarku. "Aku mau hujan-hujanan juga." Sahutku. Itung-itungkan sudah lama juga aku tidak melakukannya.

Ternyata ketika panen dibawah hujan terasa menyenangkan, karena tidak gerah ataupun kedinginan. Aku mulai benar-benar menikmati panen ini. Karena asyik melamun lagi-lagi aku tiba-tiba menjerit. Kali ini duri dahan menusuk tulang jariku tepat di engselnya. Duhh rasanya linu sekali. Dari tadi aku sudah menahan tanganku yang tergores dan tertusuk, tapi baru kali ini merasakan ada yang menusuk tulang jari. 

Sambil kugerak-gerakkan jariku yang mulai memerah. Memang susahya memanen buah yang kelihatannya sepele. Dan parahnya selama ini aku hanya menikmati hasilnya yang sudah berupa uang. Tanpa tahu susahnya menanam, panen hingga ngeses (istilah memilih ukuran dan kualitas buah naga di daerah desa). Pastinya dulu waktu ayah dan ibu memanen pernah merasakan hal seperti aku, bahkan lebih parah dan lebih sering.

Tak terasa sudah waktu ashar, ibu mengajakku istirahat digubuk dan aku mulai kagum waktu melihat hasil jernih payahku yang tak seberapa itu, kira-kira ada-lah kalu 1 ton, tentunya sudah dicampur dengan hasil panen yang sudah ada waktu aku berangkat tadi. Setalah mulai merasa tak seberapa lelah, aku dan ibu memutuskan untuk pulang. 

Dengan keadaan basah kuyup aku dan ibu menerjang gerimis yang turun. Sama dengan waktu berangkat, sesekali aku harus turun dari motor namun kali ini ditambah terkadang aku harus mendorong motor dengan ibu karena rodanya masuk dalam lumpur.

Walaupun liburan kali ini aku tidak menuju wisata yang mewah, namun aku mulai menikmati dan belajar. Bahwa dibalik kesenangan yang aku lakukan entah itu bermain ditempat wisata, nonton, sampai ngafe. Semuaitu hasil dari ayah dan ibuku yang rela hampir setiap hari tertusuk oleh duri-duri lancip pohon buah naga yang berada di hutan hingga mirip dengan taman bunga merah tersebut. Hingga kau tersadar. Mampukah aku jika kelak harus berusaha entah itu pahit maupun manis untuk kebahagiaan seseorang yang disebut keluarga?. Entahlah, semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun