Mohon tunggu...
Briliano Doter
Briliano Doter Mohon Tunggu... Mahasiswa

Terbatas dalam Tindakan namun Merdeka dalam Pikiran!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Telaga Rano: Antara Alam yang Menunggu dan Ancaman yang Membayang

13 Oktober 2025   19:33 Diperbarui: 13 Oktober 2025   19:33 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompleks Gunungapi Telaga Rano terdiri atas enam gunung, yaitu Gunung Telaga Rano, Gunung Sahu, Gunung Onu, Gunung Popolodio, Gunung Alon, dan Gunung Sailulu. Seluruhnya terletak di Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara---sebuah lanskap pegunungan yang menyimpan kisah geologi tua dan kehidupan masyarakat adat yang berakar di sekitarnya.

Mari memandang Telaga Rano bukan hanya dari peta, tetapi dari akar. Dari Halmahera Barat, dari kisah masyarakat adat Suku Sahu, Wayoli, dan Tobaru yang tumbuh bersama hutan dan danau; dari udara pagi yang masih murni, dari suara burung dan desir angin di pepohonan. Namun ketika berita tentang potensi panas bumi di Telaga Rano makin sering terdengar, ada rasa risau yang sulit diabaikan: apakah kita sanggup menjaga yang seharusnya kita wariskan?

Telaga Rano kini telah masuk dalam daftar Wilayah Kerja Panas Bumi dengan estimasi potensi sekitar 85 megawatt ekuivalen. Artinya, kawasan ini secara resmi diakui sebagai aset energi yang menjanjikan, bagian dari upaya nasional mengembangkan energi terbarukan. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa sistem reservoir panas bumi di Telaga Rano memiliki kedalaman sekitar 800--1.200 meter, tersusun dari batuan piroklastik dan lava zaman Pleistosen, dengan estimasi potensi yang bahkan lebih besar. Artinya, proyek yang direncanakan bukanlah proyek kecil---dan dampaknya pun tidak akan kecil.

Kawasan Telaga Rano memiliki kerentanan geologis yang tinggi. Batuan lava dan piroklastik di sana mempunyai sifat fisik dan kimia yang mudah berubah akibat pengeboran atau peningkatan tekanan panas bumi. Gangguan terhadap lapisan batuan dapat mengubah jalur air bawah tanah, memicu longsor, bahkan mempengaruhi kualitas dan debit air danau. Karakter lava andesit--basaltik yang padat bisa menjadi lapisan kedap air, sementara batuan piroklastik dan tuff cenderung rapuh dan mudah tererosi. Pergeseran kecil dalam tekanan atau suhu saja bisa menimbulkan reaksi kimia yang mengubah komposisi mineral dan air bawah tanah. Jadi, ketika disebut "ramah lingkungan", kita perlu bertanya ulang: ramah terhadap siapa, dan atas dasar apa?

Harga yang harus dibayar jika proyek geothermal di Telaga Rano benar-benar disetujui adalah kehilangan identitas ekologis Wallacea yang tersisa di Halmahera. Kawasan lain seperti Weda dan Pulau Obi telah terfragmentasi akibat aktivitas industri besar. Jika hal serupa terjadi di Telaga Rano, maka yang hilang bukan hanya hutan dan habitat, tetapi juga jejak historis migrasi masyarakat adat dari pegunungan ke dataran yang kini mereka huni.

Telaga Rano adalah danau vulkanik purba yang terbentuk dari letusan besar pada masa Pleistosen hingga Holosen. Berdasarkan kajian geologi, letusan pembentuk danau dan pegunungan di sekitarnya terjadi antara sekitar 2,6 juta hingga 11.700 tahun yang lalu---kemungkinan dalam beberapa fase, bukan satu letusan tunggal. Walau belum ada penanggalan radiometri yang pasti, para ahli memperkirakan letusan besar terakhir terjadi sekitar 50.000--100.000 tahun lalu, menjelang berakhirnya zaman es. Pada masa itu, manusia purba telah mendiami kawasan Asia Tenggara, sehingga sangat mungkin letusan di Telaga Rano berperan dalam pergeseran permukiman purba dan dinamika ekologis di Wallacea.

Dari perspektif evolusi, bencana purba itu mungkin memusnahkan sebagian besar spesies, tetapi juga membuka ruang bagi spesiasi baru di lingkungan pasca-letusan. Flora dan fauna endemik yang kini menghuni kawasan Todoko--Rano mungkin merupakan hasil proses panjang adaptasi ekologis selama ribuan tahun. Maka, menukar semua kekayaan ini hanya demi megawatt terasa tidak sebanding.

Menolak proyek geothermal di Telaga Rano bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, ini adalah tindakan menghormati alam yang telah lebih dulu memberi kehidupan, serta memastikan warisan geologis dan biologisnya tetap lestari. Usulan menjadikan kawasan Telaga Rano sebagai wilayah konservasi bukan sekadar upaya melindungi danau dari eksploitasi energi, melainkan strategi menjaga satu-satunya lanskap multikaldera aktif yang masih utuh di Halmahera Barat, lengkap dengan biodiversitas dan geodiversitasnya. Hutan montana lembap di sekitar kawasan tersebut adalah habitat penting bagi flora  dan fauna endemik Wallacea, seperti burung kakatua putih, dan berbagai serangga hutan lembab yang unik.

Model konservasi yang paling sesuai bukanlah cagar alam tertutup, melainkan konservasi berbasis masyarakat dengan pendekatan geopark atau kawasan geobiologis lindung. Model ini memungkinkan perlindungan ekosistem tanpa meminggirkan masyarakat adat, melibatkan mereka dalam pengelolaan, riset, dan pendidikan lingkungan. Dengan begitu, Telaga Rano dapat diusulkan sebagai "Kawasan Konservasi Geowisata dan Keanekaragaman Hayati"---sebuah bentuk konservasi hidup yang menjaga, mendidik, dan menghidupi, bukan sekadar pagar larangan.

Briliano Doter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun