Mohon tunggu...
Brian Prasetyawan
Brian Prasetyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Blogger

Generasi '90an, Pengurus Kelas Belajar Menulis Nusantara PGRI, Ketua Komunitas Cakrawala Blogger Guru Nasional, Menulis 3 buku solo & 14 buku antologi, Pernah menulis puluhan artikel di Media Cetak Ngeblog juga di www.praszetyawan.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bersekolah (Seharusnya) Tidak Hanya Membuat Anak Jadi Pintar Akademis

11 Juli 2019   10:18 Diperbarui: 11 Juli 2019   11:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: freepik.com

Setelah melihat kenyataan  tentang masifnya peredaran berita hoax tersebut, kita tentu ingin mencari solusi untuk membrantas berita hoax. Masalahnya ada pada pembuat berita yang kurang berkarakter dan penerima informasi yang belum cukup keterampilannya. Bagaimana membangun karakter dan keterampilan yang tepat ?  BERSEKOLAH

Pandangan lama menganggap bahwa siswa bersekolah agar pintar (secara akademis), kalau bisa jadi juara kelas, diterima di sekolah favorit, dan sebagainya. 

Namun ada tujuan yang lebih dari sekedar agar bisa pintar, yaitu mengembangkan karakter dan keterampilan/softskill. Terkait masalah berita hoax,  Jika kepintaran tidak dibarengi karakter yang kuat maka melahirkan seorang yang pintar memproduksi berita hoax. Banyak orang pintar mengedit, namun apakah menjadi tepat jika mengedit gambar, suara, dan video sehingga memunculkan berita hoax >

Lalu keterampilan menyaring berita,  memangnya ada pelajarannya di sekolah  ?  Hal tersebut bisa ditanamkan kepada siswa di dalam kegiatan pembelajaran atau melalui berbagai kegiatan pembiasaan.  Di dalam pemberlajaran,  siswa diminta untuk mengikuti pembelajaran dengan metode ilmiah. Metode tersebut muncul misalnya ketika praktikum IPA.  

Tentu kita pernah merasakan belajar praktikum di laboratorium. Kebiasaan melakukan urutan percobaan hingga membuat laporannya akan menumbuhkan daya nalar yang semakin solid. 

Dalam melaksanakan praktikum, terdapat hipotesis (dugaan sementara), percobaan, dan kesimpulan. Guru dapat menegaskan bahwa tiga hal tersebut tidak hanya dipakai saat praktikum saja, tapi bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. 

Misalnya untuk menangkal berita hoax. Saat berita hoax muncul siswa tidak langsung menerima namun muncul dugaan terlebih dahulu, lalu mencoba mengecek kembali berita tersebut, hingga akhirnya dapat menyimpulkan berita tersebut hoax atau bukan. 

Metode ilmiah, tidak spesifik pada praktikum saja. Dalam kurikulum 2013 juga diselipkan model pembelajaran saintifik yang menuntut siswa berpikir ilmiah dengan penerapan 5M yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar, mengkomunikasikan.

Maka, seperti dikutip dari Satelit Post, Apabila siswa terbiasa menerapkan metodologi ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan di kelas atau selama pelajaran, maka sangat mungkin kebiasaan tersebut akan dibawa saat menghadapi permasalahan di luar kelas. Siswa jadi tidak mudah begitu saja percaya dengan berbagai informasi yang tersebar, baik itu secara lisan maupun melalui media sosial. 

Siswa akan mungkin menguji informasi tersebut seperti layaknya sedang uji praktikum.  Jadi sebanyak apapun informasi hoax yang menyebar, maka akan berhenti bisa sampai pada siswa dengan kemampuan metodologi ilmiah. 

Semua tulisan ini baru membahas  satu masalah, satu karakter dan satu softskill. Padahal dalam kehidupan sehari-hari banyak masalah yang harus dihadapi dengan menerapkan berbagai karakter dan softskill. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun