Mohon tunggu...
Brayen Indrawan
Brayen Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mari, bersama belajar Jurnalisme dalam Multimedia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Liputan] Kisah Projosuwasono, Pelestari Tembang Macapat Lewat Sekolah Seni Gratis

4 Juli 2020   15:17 Diperbarui: 4 Juli 2020   15:19 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Projosuwasono sedang melatih Macapat saat ditemui pada (27/11/2019) oleh Brayen Indrawan/dokpri

YOGYAKARTA, EDUTIONALNEWS -- Merasa warisan baginya, KMT Projosuwasono mengajar Macapat. Tetap semangat meski banyak siswa pasif.

Pria berusia 69 tahun ini bernama lengkap Kanjeng Mastemenggung Projosuwasono. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang menekuni seni dan budaya. Salah satunya yaitu Macapat, seni suara asal tanah Jawa. Ia mengenal Mocopat sejak kecil, bahkan sudah bisa nembang saat berada di kelas 3 Sekolah Raykat (SD). "mungkin karena warisan dari orang tua. Orang tua saya memang Mocopat" kata Projowusono saat ditemui seusai mengajar pada Rabu (27/11/2019).

Merasa demikian, ia memutuskan untuk mengajar Macapat sejak tahun 1985. Dulunya, ia juga seorang siswa namun diberi kepercayaan untuk dapat membantu mengajar. Terlebih lagi, sejak 1970 ia menjadi Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditugasi untuk mengurus kesenian Macapat

Kini, ia mengurus dan mengajar di Sekolah Macapat, Pamulangan Sekar & Aksara Jawa yang beralamat di Jl. Rotowijan, Kadipaten, Kecamatan Kraton. Saat ditemui, Projosuwasono dengan senang hati menjelaskan setiap detail Macapat. "Macapat dikatakan dapat menggambarkan kehidupan manusia dari lahir sampai mati" tuturnya.

Menurutnya telah banyak perkembangan sejak tahun 1960 dari sisi siswa yang belajar Macapat. Keberagaman siswa begitu terlihat mulai dari beragam kalangan hingga kebangsaan. "Disini siswa banyak, petani, mahasiswa, pegawai, tua dan muda bahkan Warga Negara Asing. Semua ada." Kata Projosuwasono. Ia juga menambahkan siswa belajar secara cuma cuma, tidak dipungut biaya

Kendati demikian, siswa yang belajar menganut sistem pasif.  "Setiap hari masuk boleh, hanya masuk seminggu sekali boleh, seminggu dua kali boleh, sebulan sekali boleh." Jelas Projosuwasono. Ia tidak ingin menerapkan layaknya sekolah resmi, kebebasan sepenuhnya ada pada siswa. Ia hanya berusaha untuk menerima dan terbuka bagi siapapun yang ingin belajar.

Dengan semangat tinggi, ia terapkan sikap menjemput bola, lebih bersikap aktif. "Saya bersedia datang di mana saja mereka berkumpul, saya datang." Ujarnya. Hal ini dilakukan guna menunaikan niat mulainya untuk melestarikan dan mengembangkan Macapat.

Projosuwasono juga menyadari bahwa Macapat bukan konsumsi untuk zaman sekarang, terlebih kaum muda. Menurutnya, Macapat kaum muda sulit untuk mencerna setiap tembang dari Macapat. Tetapi baginya, Macapat harus tetap dikenalkan kepada kaum muda. Pasalnya, dalam Macapat terdapat banyak nilai-nilai luhur yang perlku diketahui. "setelah mengetahui perlu pula mengamalkan." tegas Projosuwasono.

Doc Liputan 27 November 2019

Tim: EdutionalNews

Penulis: Brayen Indrawan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun