Rasionalisme dan empirisme adalah dua aliran dalam bidang filsafat yang berpengaruh dalam perkembangan filsafat abad ke-17. Rasionalisme adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Ada dua filsuf rasionalisme yang berpengaruh pada masa itu.
Filsuf yang pertama adalah Rene Descartes. Rene Descartes (31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah sorang filsuf Perancis, matematikawan, fisikawan dan penulis. Dia dijuluki "Bapak Filsafat Modern" karena ia berperan besar dalam membangun sistem pertama filsafat modern. Selain itu dia juga dinobatkan sebagai bapak geometri analitis karena sumbangannya yang penting terhadap ilmu aljabar dan karena penemuannya tentang sistem kordinat Cartesius. Descartes adalah seorang tokoh besar pada abad ke-17 sebagai seorang filsuf rasionalisme yang kemudian menginspirasi pemikiran Spinoza dan Leibniz. Rasionalismenya ditentang oleh para filsuf empirisme seperti Hobbes, Locke, Berkeley, Rousseau dan Hume.
Pokok pemikiran Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Di dalam buku Discourse on Method, dia mencoba untuk sampai pada pokok dari suatu asas atau pemikiran dasar. Untuk menerima itu, dia menggunakan sebuah metode keraguan atau "dubium methodicum". Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, lalu dia membangun kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini lebih dikenal dengan cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris adalah i think therefore i am atau "aku berpikir,maka aku ada" dalam bahasa Indonesia. Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu diharuskan untuk ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan keberadaannya. Dia merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut tidak bisa dipercaya. Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak bisa diragukan. Sedangkan indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan menipu. Sebagai contoh, sebuah sedotan ketika dimasukkan ke dalam sebuah gelas berisi air maka akan terlihat oleh mata kita bahwa sedotan itu bengkok. Padahal yang sesungguhnya adalah sedotan itu tetap lurus seperti aslinya. Hal itu membuktikan bahwa indera menipu kita, karena itulah dia meragukan indera. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi dan pasti karena kita mengerti hal itu dengan jelas dan terpilah-pilah atau disebut "clara et distincta". Artinya, yang jelas dan terpilah itulah yang harus diterima sebagi benar. Hal itu menjadi dasar Descartes dalam menentukan kebenaran.
Dengan cara itu, Descartes membangun sebuah sistem pengetahuan dimana dia membuang persepsi ketidakpercayaan dan mengakui deduksi sebagai sebuah metode. Dalam sistem Descartes, pengetahuan mengambil bentuk ide dan penyelidikan filosofis adalah perenungan ide-ide ini. Konsep inilah yang mempengaruhi epistemologi Descartes yang memisahkan pengetahuan dari pemalsuan. Descartes percaya bahwa realitas luar itu ada dan realitas luar ini berbeda dengan realitas pikiran. Dia menyatakan bahwa ada dua bentuk realitas yang berbeda. Realitas yang satu adalah res cogitan (gagasan atau pikiran) dan res extensa (perluasan atau materi). Descartes menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas materi. Menurutnya, pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran dan tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak bisa dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Sedangkan materi adalah perluasan, mengambil tempat di dalam ruang dan bisa dibagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Descartes menyatakan bahwa kedua hal tersebut berasal dari Tuhan tetapi kedua substansi tersebut tidak saling berhubungan. Jika dihubngkan dengan manusia, res cogitan itu adalah jiwa dan res extensa adalah tubuh. Pikiran tidak bergantung pada materi begitu juga sebaliknya. Sama halnya dengan jiwa dan tubuh yang tidak saling berhubungan dan ada pembatas diantara keduanya. Pembagian dua realitas ini menjadikan Descartes sebagai seorang dualis.
Filsuf rasionalis selanjutnya adalah Leibniz. Gotfried Wilhem Leibniz a(1 Juli 1646 - 14 November 1716) adalah seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia dan berasal dari Sachsen. Ia terutama terkenal karena faham Théodicée bahwa manusia hidup dalam dunia yang sebaik mungkin karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Sempurna. Faham Théodicée ini menjadi terkenal karena dikritik dalam buku Candide karangan Voltaire. Leibniz lahir di Leipzig dan meninggal dunia di Hannover.
Leibniz memulai pemikirannya sebagai seorang filsuf ketika dia memberikan komentar melalui karyanya yaitu Discourse on Metaphysics atas perselisihan yang terjadi antara Nicolas Malebranche dan Antonio Arnauld. Leibniz tertarik dengan metode baru dan kesimpulan Descartes, Huygens, Newton dan Boyle. Namun hal itu menyisakan situasi dimana metode dan perhatian Leibniz seringkali mendahului logika, analitik dan bahasa filsafat pada abad ke-20. Prinsip-prinsip dasar pemikiran Leibniz ada tujuh, yaitu kontradiksi, identitas yang tidak dapat dijelaskan, alasan yang cukup, keserasian yang mapan, kontinuitas, optimisme dan kepenuhan.
Kontribusi terbaik dari Leibniz adalah teori monads yang dijelaskan dalam Monadologie. Monads adalah dunia metafisik yang menjelaskan apa itu atom kedalam fisika/fenomena. Hal itu juga bisa dibandingkan dengan sel-sel dari filsafat mekan bentuk substansial dari menjadi dengan sifat abadi, tak dapat dibagi, individual, sesuai dengan hukum mereka sendiri, tidak berinteraksi dan mencerminkan seluruh alam semesta. Monads adalah pusat kekuatan, substansi adalah gaya sementara ruang, materi dan gerak hanyalah fenomena.
Walaupun Leibniz seorang rasionalis, dia mengakui nilai dari kebenaran empiris. Kebenaran empiris baginya hanyalah sebuah bagian kecil dari seluruh kebenaran. Adalah tugas para filsuf untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang kebenaran fenomena.
Leibniz mengakui bahwa di dalam banyak bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran faktual. Yang bisa kita lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi fakta dari prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi. Tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan mau mencoba mengerti fenomena alam. Kebenaran rasional inilah yang menjadi batas dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu penyebab dari segala sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus mencari dan membuktikan penyebab-penyebab tersebut.
Leibniz meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran ini, bukan sekedar pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses mengerucut yang semakin mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa direduksi menjadi prinsip-prinsip umum yang universal. Ia bahkan melampaui batas-batas ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini pada ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.
Setelah membahas dua filsuf rasionalis, sekarang kita beralih ke filsuf empirisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.