Mohon tunggu...
Bq. Nabila
Bq. Nabila Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Bq. Nabila

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kilas Balik Cerita Rakyat "Tegodek-Godek Dait Tetuntel-Tuntel" Gumi Sasak di Era Milenial

26 Juni 2021   18:55 Diperbarui: 26 Juni 2021   19:30 5583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Suku sasak merupakan suku bangsa yang terdapat di seberang timur wilayah Indonesia. Sehingga mayoritas dari suku ini mendiami pulau lombok yang identik dengan bahasa sasak. Gumi sasak bermakna tempat tinggal bagi etnis sasak yang terkenal memiliki beragam budaya. Di antaranya budaya bededongeng atau bercerita yang kini terancam lenyap akibat perubahan zaman yang cepat atau akrab kita sebut dengan era milenial. Era milenial ditandai dengan meningkatnya kebutuhan akan teknologi di kalangan para milenial. Dalam artikelnya Millenial Trends 2016, Yuswohady menyatakan bahwa generasi milenial adalah mereka yang terlahir pada tahun 1980 hingga tahun 2020, di samping itu generasi milenial dikenal akan kepiawaiannya dalam penggunaan teknologi.

Maraknya penggunaan teknologi oleh milenial saat ini bersamaan dengan itu budaya daerah menjadi jarang untuk disentuh. Bagi masyarakat suku sasak, pentingnya budaya bededongeng atau bercerita karena digunakan sebagai media untuk menyampaikan nasihat kepada anak mereka. Senada dengan itu, cerita rakyat suku sasak memang banyak menyimpan utulitas yang positif bagi moral remaja di era milenial ini, seperti cerita “tegodek-godek dait tetuntel-tuntel”. Cerita ini merupakan cerita dari gumi sasak yang penokohannya dilakoni oleh monyet atau masyarakat sasak menyebutnya dengan tegodek-godek dan kodok dalam bahasa sasaknya tetuntel-tuntel.

Pada suatu hari tegodek-godek dan tetuntel-tuntel berjanji untuk bertemu di kali.  Namun di luar dugaan, kali yang mereka kunjungi sedang dilanda banjir bandang besar. Mereka pun duduk di tepi kali,  tak berselang lama mereka melihat pohon pisang yang hanyut terbawa banjir. “Tuntel-tuntel apakah kamu mau menanam pohon pisang?, agar aku ambilkan untuk kita tanam di rumah sembari kita bagi dua” kata tegodek-godek. “Iya boleh, tetapi kamu yang bawa sampai ke rumah.” jawab tetuntel-tuntel.

Sesampainya di rumah, mereka pun membagi pisang tersebut. “Aku memilih pangkal karena pangkal adalah bakal tumbuhnya tunas-tunas yang nanti akan menghasilkan buah.” kata tetuntel-tuntel, “Kalo aku memilih ujungnya karena ujungnya adalah tempat buahnya.” sambung tegodek-godek. Mereka pun membawa pulang ke rumah masing-masing. Tetuntel-tuntel menanam pisang di belakang kandang kuda yang dipenuhi dengan kotoran kuda tersebut, sedangkan tegodek-godek menanam pisangnya di atas pohon asam. 

Hari ke minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Setiap harinya tegodek-godek mengawasi pohon pisang milik tetuntel-tuntel. “Berapa daun pisang mu Tuntel?”, “baru dua”, “saya juga begitu.” Kata tegodek-godek kepada tetuntel-tuntel. Tegodek-godek selalu menanyakan hal yang sama, tetapi dibalik kondisi yang dialaminya tidak sesuai dengan perkataannya. Hingga pada saat pohon pisang tetuntel-tuntel berbuah lebat, sedangkan tanaman pisang tegodek-godek makin lama makin kering. Tegodek-godek melihat tetuntel-tuntel yang ingin memetik pisang, akan tetapi selalu gagal. 

Melihat hal demikian, tegodek-godek mulai melaksanakan niat busuknya untuk mengakali tetuntel-tuntel. Setelah tetuntel-tuntel memberikan izin kepada tegodek-godek untuk membantunya, kemudian tegodek-godek memanjat pohon pisang lalu memakan buah pisang hingga tak terasa sampai habis.“Tega sekali kau menghabiskan buah pisangku.” ungkap tetuntel-tuntel sambil menunjuk-nunjuk tegodek-godek dari bawah. Tegodek-godek kemudian melempari kulit pisang yang telah dimakannya dan menyuruh tetuntel-tuntel untuk memakannya tanpa memahami perasaan yang dialami oleh tetuntel-tuntel.  

Tidak tahan terhadap sikap tegodek-godek, akhirnya tetuntel-tuntel melarikan kain yang dikenakan oleh tegodek-godek untuk menutupi kemaluannya. Tegodek-godek yang merasa khawatir, memutuskan untuk turun melihat tetuntel-tuntel yang sudah hilang. “Tetuntel ini pisangmu! Kembalikanlah kainku!” ungkap tegodek-godek seraya di dalam tempurung. Cul loang eceq yang memiliki makna lubang kemaluan, tetuntel-tuntel terus berteriak di dalam tempurungnya dengan perkataan tersebut. Hingga tegodek-godek menyangka bahwa yang menjawab teriakannya tersebut adalah kemaluannya sendiri. 

Dengan penuh amarah, tegodek-godek memukul kemaluanya dengan batu hingga ia mati. Melihat hal tersebut, tetuntel-tuntel mengambil daging sahabatnya lalu dijadikan permen dan menjulnya kepada para kera. Setelah habis terjual, tetuntel-tuntel meneriaki para kera. “Hahaha, kalian memakan daging teman kalian sendiri.” mendengar hal itu, para kera mengejar tetuntel-tuntel akan tetapi berkat kepiawaiannya dalam berenang sehingga segera melompat ke sungai dan terhindar dari kejaran para kera. 

Menilik pesan moral dari cerita tersebut ada kaitannya dengan kehidupan remaja di era milenila ini. Tindakan mengklaim sesuatu yang bukan milik kita, terlalu mudah percaya terhadap sesuatu, suka melebihkan fakta, hingga menghalalkan segala cara demi memenuhi nafsu adalah perilaku yang semestinya dihindari oleh remaja di era ini. Namun, fakta di lapangan menyatakan para remaja yang acuh tak acuh dengan budaya di daerahnya, mirisnya lagi dampaknya yang akan menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan budaya di masyarakat. 

Senada dengan itu, budaya bededongeng seperti cerita “Tegodek-godek dait tetuntel-tuntel” yang menyimpan pesan moral kehidupan yang luar biasa, dapat dijadikan sebagai media pembentuk karakter para remaja di era milenial ini. Adapun hal yang bisa ditempuh guna melestarikan budaya tersebut di antaranya dengan meningkatkan peran orang tua dalam bededongeng atau bercerita kepada anak mereka, juga dengan menyelipkan nyayian atau gerakan hiburan untuk mencegah rasa bosan pada mereka. Dengan demikian, manfaat yang akan didapatkan dalam melestarikan budaya bededongeng seperti cerita rakyat “Tegodek-godek dait tetuntel-tuntel” gumi sasak dapat menjadi ruang untuk mempererat hubungan orang tua dengan anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun