Faktanya, pasir pantai bukan sekadar tumpukan butiran putih. Ia adalah benteng alami yang melindungi daratan dari abrasi. Ketika pasir hilang, erosi terjadi. Pantai tergerus, laut semakin masuk ke darat, dan bencana mengintai.
Lebih dari itu, pasir menjadi rumah bagi biota pesisir. Saat digali, ekosistem hancur. Ikan berkurang, kerang lenyap, dan rantai kehidupan terganggu. Dampaknya bukan hanya ekologis, tapi juga ekonomis—khususnya bagi sektor pariwisata. Siapa yang mau berlibur ke pantai yang rusak dan tercemar?
Di Mana Peran Negara dan Pemerintah Daerah?
Aparat penegak hukum sudah bertindak, dan itu patut diapresiasi. Tapi jika hanya mengandalkan penangkapan, tanpa pencegahan yang sistematis, maka masalah ini akan berulang. Dibutuhkan pendekatan lebih dari sekadar operasi polisi.
Pemerintah daerah memegang peran sentral. Pengawasan kawasan pesisir harus diperkuat. Regulasi diperjelas. Perizinan diperketat. Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan dan diberdayakan. Jangan biarkan mereka menjadi korban dari sistem yang tak memberi pilihan lain.
Ajakan untuk Tidak Diam
Kasus pengerukan pasir ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal nilai. Nilai kita terhadap alam, terhadap titipan generasi mendatang, dan terhadap identitas lokal. Jika kita membiarkan keindahan ini habis sedikit demi sedikit, apa yang akan kita kembalikan nanti?
Sumba Barat Daya adalah surga wisata yang tak ternilai. Tapi surga ini bisa berubah jadi kenangan, jika kita semua memilih diam. Maka pertanyaannya kembali kita ajukan: siapa yang bertanggung jawab?
Jawabannya adalah: kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI