[caption caption="Kerumunan pembeli ikan segar yang baru saja ditangkap nelayan (dokpri)"][/caption]Di kota di tempat saya tinggal, untuk mendapatkan ikan laut segar tidaklah terlalu sulit karena Padang adalah kota pantai yang langsung berhadapan dengan samudera Hindia. Namun ikan yang dijual baik di pasar, maupun penjaja ikan yang berkeliling saban hari  tidak selalu murah harganya. Ada kalanya melonjak sehubungan dengan keadaan cuaca. Ada istilah yang namanya bulan terang, di mana ikan yang ditangkap nelayan relatif sedikit, atau bisa juga faktor cuaca yang buruk hingga nelayan enggan melaut.
Seperti minggu kemarin, tak ada penjual ikan langganan yang melintas di depan rumah. Di pasar pun harganya relatif mahal karena pasokan sedikit. Berhubung keluarga kami suka ikan sebagai menu lauk, muncul pikiran untuk membeli ikan di pantai Padang. Di tempat tertentu di kawasan pantai memang terdapat penjual ikan. Ada beberapa lapak ikan dekat kawasan wisata pantai.
Yang menariknya, di hari Minggu pagi,  orang-orang yang melintas bisa menyaksikan nelayan memukat ikan. Pukat adalah alat penangkap ikan berupa jaring yang sangat panjang. Pukat ini ditebar nelayan ke tengah laut menggunakan perahu, dan kemudian ditarik  beberapa nelayan di bibir pantai.
Saya sendiri sudah beberapa kali melihat aktifitas nelayan ini dari kejauhan. Saya juga tahu, saat nelayan menarik pukat, biasanya sudah ada para pembeli yang menanti. Khusus di Minggu pagi, pembeli jauh lebih banyak. Biasanya para keluarga yang kebetulan lagi jalan-jalan di hari Minggu sekalian beli ikan segar.
Kebetulan istri mengajak untuk membeli ikan ke pantai purus hari itu. Ternyata di pagi itu sudah banyak calon pembeli menunggu. Di bibir pantai, para nelayan sedang bekerja mengumpulkan ikan yang terjaring dan para calon pembeli mengerubungi melihat aktivitas tersebut. Setelah memarkirkan kendaraan, saya juga ke sana ingin melihat-lihat. Apa yang saya lihat justru membuat saya kaget. Ingin tahu, apa yang membuat saya kaget? Inilah penampakannya.
[caption caption="Inilah sampah yang terjaring oleh Nelayan"]
[caption caption="Mencari ikan yang bersembunyi di balik sampah plastik (dokpri)"]
Sedih? Sudah pasti! Ada perasaan geram juga. Mengapa ada banyak sampah plastik yang terjaring setiap kali memukat ikan? Jawabannya adalah kebiasan kita (dalam hal ini masyarakat) sendiri sebagai konsumen yang menggunakan kantong plastik secara berlebihan dan membuangnya secara sembarangan.
Yang lebih meresahkan lagi, ternyata Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok membuang sampah plastik ke lautan. Menurut data (2015), ada sekitar 187, 2 juta ton sampah plastik di Indonesia yang dibuang ke lautan. Idih, gawat. Beras saja, Indonesia hanya mampu menghasilkan sebanyak 75 juta ton GKG (gabah kering giling) di tahun yang sama. Itu artinya orang indonesia lebih doyan nyampah ya? Tidakkah ini memalukan?
Kalau dilihat lebih jauh lagi, kontong plastik yasng sering kita gunakan hanya sebentar saja. Mulai saat belanja sampai pulang ke rumah. Kemudian kantong plastik tersebut akan dibuang. Celakanya, untuk bisa terurai di alam membutuhkan waktu 80 hingga 100 tahun baru terurai. Ibaratnya, jika seseorang menggunakan kantong plastik sekarang, sampai ia meninggal dan jasadnya terurai, plastik yang pernah ia gunakan dipastikan belum terurai.
Di tivi, juga pernah tuh ada tayangan, betapa sampah plastik merusak ekosistem dan hewan laut. Ada makhluk laut yang menyangka plastik adalah makanannya dan akhirnya mati. Setelah diotopsi, ternyata di perutnya dipenuhi plastik.
Melihat gunungan sampah plastik di TPA, mungkin tidak akan begitu menghentak kesadaran. Tapi melihat tumpukan plastik di pukat nelayan? Memiriskan hati. Betapa tidak, ikan-ikan menyatu dengan sampah plastik, dan ikan itu untuk dikonsumsi orang banyak. Bukan tidak mungkin sampah-sampah plastik itu adalah bekas tempat menaruh bekas pembalut, diapers, muntahan, atau yang jorok-jorok lainnya.
Kalau sudah begini, saya justru sangat tidak setuju aturan yang diterapkan pemerintah baru-baru ini, penggunaan kantong plastik berbayar di super market. Cuma 200 rupiah? Saya pikir ini tidak efektif. 200 rupiah itu terlalu murah untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Seharusnya lebih mahal dari itu. Atau kalau perlu pemerintah tegas, melarang penggunaan kantong plastik di Indonesia. Â Solusinya, masyarakat akan kembali menggunakan kantong atau tas belanjaan bila ke pasar. Toh, waktu saya kecil dulu, emak dan nenek saya dan banyak ibu-ibu lainnya belanja pakai keranjang belanja. Kalau dulu bisa, tentu sekarang juga bisa.
Saya tahu, penggunaan kantong plastik adalah dilema. Tapi harus ada tindakan tegas supaya keadaan tidak menjadi lebih buruk. Kebijakan ini untuk kebaikan masyarakat juga. Tidakkah kita peduli dengan lingkungan? Tidak kasihan dengan hewan-hewan yang hidup di laut? Tidakkah kasihan dengan nelayan yang capek-capek bekerja menjaring ikan ternyata yang terjaring adalah sampah? Ataukah maukah anda makan ikan yang ternyata berasal dari tumpukan sampah plastik yang dibuang di samudera?
Kalau Anda merasa peduli, tapi tidak setuju dengan kebijakan kantong plastik berbayar, setidak-tidaknya  berhemat dan bijaksanalah menggunakan kantong plastik. Bumi yang kita tinggali bukan hanya untuk kita tinggali hari ini, tapi untuk  generasi penerus di masa datang. Setuju?
Â
Data dapat dilihat di sini dan di sini
Â
Artikel ini pertama kai dimuat di blog saya, boyke abdillah.com. Di sana anda juga bisa melihat artikel lainnya, berupa inspiring news, opini, fiksi dan lainnya. Silakan mampir bila berkenanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H