Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Refleksi kematian Reynanda Giting: Korupsi Adalah Pelanggaran HAM

6 Juli 2025   16:06 Diperbarui: 6 Juli 2025   16:06 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Reynanda Ginting (Sumber: Kompastalk

Korupsi adalah kejahatan yang telah lama menjadi momok dalam sistem pemerintahan dan tata kelola negara. Namun, selama ini kita hanya memaknainya sebagai bentuk kejahatan ekonomi atau pelanggaran terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Padahal, korupsi tidak berdiri sendiri sebagai pelanggaran administratif atau kejahatan finansial. Korupsi sejatinya merupakan kejahatan yang merampas hak dasar warga negara, menjadikannya sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam arti yang sebenarnya. Sayangnya, perspektif ini belum cukup kuat mengakar dalam sistem hukum nasional kita.

Dalam konstitusi Indonesia, hak asasi manusia diakui dan dijamin melalui Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mempertegas bahwa hak atas kehidupan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan perlindungan dari diskriminasi adalah hak yang melekat pada setiap individu. Di sisi lain, korupsi secara sistematis menggerogoti seluruh jaminan tersebut. Ketika anggaran kesehatan dikorupsi, rakyat kehilangan hak atas pengobatan yang layak. Ketika dana pendidikan diselewengkan, anak-anak kehilangan masa depan. Ketika dana bansos digelapkan, masyarakat miskin kehilangan hak untuk bertahan hidup.

PBB melalui Kantor Komisaris Tinggi HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights) dalam laporan bertajuk "The Negative Impact of Corruption on the Enjoyment of Human Rights" (2013) secara eksplisit menyatakan bahwa korupsi berdampak besar pada pemenuhan hak-hak sosial ekonomi masyarakat, dan dengan demikian dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Salah satu peristiwa nyata yang memperlihatkan bahwa korupsi bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi telah menjadi ancaman terhadap hak hidup, adalah kematian Reynanda Primta Ginting, seorang calon jaksa di Kejaksaan Negeri Simalungun. Pada 2 Juli 2025, ia ikut serta dalam pengejaran terhadap dua saksi kasus dugaan korupsi dana desa hingga akhirnya di ia ditemukan meninggal dunia di Sungai Silau, Kisaran, Kabupaten Asahan. Ia belum sempat resmi dilantik sebagai jaksa. (Kompas.com, 4 Juli 2025).

Peristiwa ini tidak dapat dibaca secara dangkal sebagai "kecelakaan kerja." Ini adalah simbol dari betapa berat dan nyatanya ancaman korupsi terhadap para penegak hukum dan terhadap sistem keadilan itu sendiri. Seorang pemuda yang berupaya menegakkan hukum tewas dalam upaya membongkar kejahatan korupsi. Maka, nyawa yang hilang ini harus menjadi pengingat bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung bisa merampas hak hidup seseorang bukan hanya rakyat, tetapi juga aparat negara yang berada di garis depan.

Pandangan filosof dan teoritikus keadilan seperti Johan Galtung mengemukakan istilah kekerasan struktural yaitu kondisi ketika sistem sosial dan politik menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar. Korupsi, dalam konteks ini, adalah bentuk nyata kekerasan struktural yang dilakukan oleh elite berkuasa kepada masyarakat bawah. Ia menghancurkan jembatan, membunuh rumah sakit, dan menggagalkan proyek-proyek yang menjadi tumpuan hidup rakyat. Korupsi bukan hanya soal angka dalam laporan BPK ia adalah tragedi manusia yang meluas, berulang, dan sering kali tidak terlihat langsung.

Dari aspek hukum, pendekatan terhadap korupsi sejauh ini masih berfokus pada aspek pidana semata. Pelaku dihukum, uang dikembalikan (jika memungkinkan), lalu kasus ditutup. Tidak ada mekanisme untuk memulihkan hak-hak masyarakat yang dirampas. Tidak ada ruang bagi warga yang dirugikan untuk mengakses keadilan sosial. Maka, pendekatan hukum terhadap korupsi harus diperluas menjadi paradigma HAM, di mana korban menjadi pusat perhatian, dan negara wajib bertanggung jawab secara struktural.

Dengan memasukkan korupsi sebagai bentuk pelanggaran HAM dalam peraturan nasional, konsekuensinya akan signifikan:

  1. Pemberlakuan prinsip non-impunitas, sebagaimana berlaku dalam pelanggaran HAM berat.

  2. Tanggung jawab negara untuk memberikan reparasi kepada korban, baik secara individu maupun komunitas.

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Hukum Selengkapnya
    Lihat Hukum Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun