Kamu pasti pernah dengar berita hebat soal pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang angkanya bikin geleng-geleng kepala, kan? Pemerintah dengan bangga menyebut ini adalah buah manis dari hilirisasi nikel, sebuah "jurus sakti" yang akan membawa Indonesia menjadi raja baterai mobil listrik dunia.
Dari narasi ini, semuanya terdengar sempurna. Investasi triliunan rupiah masuk, pabrik-pabrik raksasa berdiri, dan angka PDRB melesat ke langit.
Di Balik Angka yang Menggoda
Tapi, coba kita tengok sejenak ke belakang panggung. Di balik angka-angka fantastis itu, ada sebuah ironi yang menyakitkan. Pertumbuhan ekonomi ini ternyata tidak merata. Para ahli menyebutnya "ekonomi enclave"---sebuah pulau industri yang kaya raya, namun terisolasi dari lautan masyarakat di sekitarnya.
Keuntungan besar lari ke investor asing, sementara petani dan nelayan lokal justru kehilangan sumber kehidupan mereka. Lahan digusur, laut tercemar. Anehnya, di tengah ekonomi yang katanya meroket, angka kemiskinan dan ketimpangan sosial justru tidak banyak berubah.
Untuk analisis yang lebih mendalam mengenai paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial dalam proyek hilirisasi nikel, kamu bisa membaca ulasan lengkapnya di Kanal Progresif.
Jadi, pertanyaan besarnya adalah: pembangunan ini sebenarnya untuk siapa? Apakah kita rela mengejar pertumbuhan dengan mengorbankan masa depan lingkungan dan kesejahteraan rakyat kita sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI