Yogyakarta -- Belakangan ini dunia kreatif di Indonesia ramai memperbincangkan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi film dan animasi. Isu ini ikut mencuat seiring viralnya Merah Putih One For All, animasi yang menuai sorotan publik dengan indikasi penggunaan AI dalam pembuatan OST film tersebut. Kehadiran AI menambah perdebatan: apakah teknologi ini bisa mendorong efisiensi atau justru menggerus kreativitas seniman?
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Budi Dwi Arifianto, menilai AI ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan efisiensi besar dalam setiap tahap produksi. Namun, di sisi lain, muncul persoalan serius terkait etika, hak cipta, hingga ancaman terhadap keberlangsungan profesi kreatif.
1. AI permudah proses praproduksi hingga pascaproduksi
Budi yang akrab disapa Tobon mencontohkan manfaat nyata AI dalam proses produksi film.
"Manfaat paling nyata dari AI terlihat pada efisiensi produksi. Di tahap praproduksi misalnya, AI dapat membantu penulisan ide, logline, sinopsis, hingga storyboard. Saat proses produksi, teknologi seperti virtual cinematography dan generative background mempermudah sineas menciptakan adegan kompleks. Begitu juga di pascaproduksi, AI sudah mampu melakukan color grading otomatis, dubbing, pembuatan efek visual, dan lain sebagainya. Semua itu membuat produksi lebih efisien dan cepat," jelasnya dalam wawancara daring pada Rabu (20/8/2025) dilansir laman resmi UMY.
Ia juga menilai AI mampu membuka akses lebih luas bagi sineas dengan keterbatasan modal.
2. Buka peluang baru bagi kreativitas sineas
Menurut Tobon, teknologi AI bisa menjadi medium untuk melampaui batas teknis maupun finansial dalam berkarya.
"AI memungkinkan pembuatan dunia fantasi yang dulu hanya bisa dilakukan studio besar. Bahkan kini, satu orang bisa menghasilkan karya berskala besar tanpa tim besar. Aksesibilitas semakin terbuka. Misalnya, AI mampu menghadirkan kembali tokoh sejarah atau budaya klasik melalui visualisasi digital yang lebih hidup," tuturnya.
Hal ini dianggapnya dapat memperluas kemungkinan narasi baru dalam industri film maupun animasi Indonesia.
3. Tantangan etika, hak cipta, dan profesi kreatif
Meski begitu, Tobon mengingatkan bahwa perkembangan AI juga membawa keresahan.
"AI bisa meniru karakter bahkan mengubahnya sedikit agar terlihat berbeda. Ini problematik, karena karakter itu ada pemiliknya. Maka akan muncul pertanyaan: karya itu milik siapa? Seniman atau mesin? Regulasi hukum dan hak cipta harus segera dipertegas," tegasnya.