Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Tanah Berjalan, Sebuah Narasi di Balik Peristiwa Gempa Palu

5 Oktober 2018   09:05 Diperbarui: 5 Oktober 2018   09:17 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sungguh kaget aku mendengar berita itu. Jum'at sore beberapa menit menjelang adzan Maghrib 28 September 2018 terjadi gempa dan tsunami di Sulawesi, tepatnya di kota Donggala dan Palu. Gempa berkekuatan 7,2 SR mengakibatkan ratusan jiwa menjadi korban, gedung-gedung dan bangunan lainnya roboh rata dengan tanah, bahkan Jembatan Kuning IV atau Jembatan Ponulele pun ikut roboh karena kuatnya goncangan itu menggoyang bumi Donggala dan Palu.

Belum hilang luka dan duka ini setelah gempa Lombok, kembali bumi nusantara berguncang. Palu dan Donggala, wilayah yang belum pernah terlintas dalam benakku selama ini karena begitu jauh jarak tempatnya.

Para peneliti pun tidak menyangka kalau gempa yang berpusat di sebelah utara Kota Donggala mengakibatkan gelombang tsunami yang dahsyat di Kota Palu dengan kekuatan yang lebih besar dari tsunami di Aceh pada tahun 2004 karena topografi Kota Palu yang terletak di tepi sebuah teluk sempit dan memanjang sehingga mengakibatkan efek gelombang tsunami yang lebih besar. Kerusakannya pun lebih parah di Kota Palu karena selain tsunami ada peristiwa yang belum pernah terjadi selama gempa berlangsung di bumi nusantara ini.

Likuifaksi ... orang-orang menyebutnya sebagai monster pembunuh. Begitu dahsyat dan mengerikan akibat yang ditimbulkan dari likuifaksi ini. Struktur tanah menjadi lunak karena getaran gempa yang begitu tinggi hingga tidak mampu menahan berat beban bangunan di atasnya. Di Balaroa dan Petobo terjadi likuifaksi sehingga gedung dan bangunan di sana tenggelam seolah terhisap oleh tanah. 

Banyak orang terjebak di dalamnya dan menjadi korban. Tanah lunak itupun berjalan seperti aliran air menyeret rumah-rumah penduduk dan pepohonan kemudian menenggelamkannya. Semua ikut berduka, semua ikut berdoa dan bantuan pun berdatangan untuk membantu mereka yang menjadi korban bencana.

Teringat kembali kisah-kisah umat manusia jaman dulu. Mereka binasa karena keganasan bencana alam yang menimpa mereka. Mereka menyimpang dari ajaran-Nya hingga Tuhan berkehendak menurunkan teguran dan hukuman. Dan atas ijin-Nya bencana alam itu terjadi menimpa umat terdahulu.

Apakah ini hanya suatu kebetulan jika bencana alam yang berulang kali terjadi di bumi nusantara ini kejadiannya mirip dengan kisah-kisah umat terdahulu? Sedangkan kisah itu selalu di awali dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dari ajaran para nabi yang dilakukan oleh umat tersebut. Analoginya pasti juga sudah terjadi penyimpangan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di wilayah gempa bumi tersebut.

Para ahli dan peneliti pun menjawab dengan teori-teori yang mereka miliki. Gempa dapat terjadi di sesar-sesar atau patahan yang masih aktif. Ada banyak sesar aktif tersebar di sepanjang gugusan pulau-pulau di bumi nusantara ini. Tetapi mereka tidak bisa memprediksi di daerah mana dan kapan patahan aktif itu akan bergerak hingga dapat menimbulkan bencana gempa bumi. Jadi apakah hanya sebuah kebetulan jika gempa itu terjadi di Aceh, Jogja, Lombok, ataupun Palu? Apakah juga sudah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan ajaran para nabi di sana?

Kita seolah melupakan Tuhan yang telah mengijinkan bencana itu terjadi. Kita terlena dan tertipu dengan gemerlapnya dunia dan baru berteriak-teriak memanggil-Nya ketika bencana itu datang. Tidak adakah maksud Tuhan menurunkan bencana di sana? Ataukah bencana itu hanya kita anggap sebagai akibat dari pembenaran terhadap suatu teori yang sudah kita pelajari selama ini tentang gempa bumi?

Sungguh suatu pemikiran yang liberal jika kita menganggap bencana sebagai suatu kebetulan saja terjadi di daerah itu hanya karena suatu rangkaian teori, prediksi, dan analisa yang terbukti kebenarannya setelah terjadi bencana. Bukankah tidak ada asap jika tidak ada api? Adakah sesuatu yang diijinkan terjadi di dunia oleh Tuhan hanya sebuah kebetulan saja?

Terlepas dari benar tidaknya berita-berita online yang mengabarkan telah terjadi suatu penyimpangan ajaran Tuhan dan para nabi sebelum terjadi gempa bumi di Palu (LGBT), perlu kita telaah lebih serius lagi. LGBT dan gempa bumi memang merupakan permasalahan yang berbeda. Tapi LGBT dapat menjadi salah satu sebab diturunkannya peringatan dan azab  Tuhan yang berupa bencana alam seperti yang telah dikisahkan dalam kitab suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun