Mohon tunggu...
Boedi Santoso
Boedi Santoso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@CupuNoted\r\n\r\nhttp://notedcupu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dosa Demokrasi Indonesia

20 April 2014   06:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di negeri sebuah hutan, hiduplah beragam jenis binatang liar. Kekuasaan tertinggi di pucuk kepemimpinan, bukan dari binatang yang berukuran besar, seperti gajah. Bukan pula, dipimpin oleh kawanan hewan bertubuh kecil, seperti monyet. Tanpa demokrasi, tanpa pencoblosan melalui sebuah bilik suara, ke kuasaan langsung di amanahkan untuk hewan yang bernyali dan berdarah buas. Juga tak ada biaya, pemilu. Mungkin itulah cirri-ciri pemimpin yang punya sikap tegas yang ideal, mengambarkan sikap ketegasan.

Di hutan itu, tidak ada suara gonjang-ganjing menyoal kesejahteraan rakyat hewani. Urusan perut, asal makan dan kumpul saja sudah menterjemahkan kesejahteraan. Tanpa tending aling-aling, hukumnya bertindak tegas, siapa yang berani macam-macam langsung dibungkam, dan diterkam oleh sang raja hutan. Singa!. Otoriter? Mungkin iya. Tapi ajaibnya, meskipun disana hampir tidak ada pemilu, tapi nyatanya para warga hutan tetap rukun-rukun saja. Raja hutan itu, bertahun-tahun menjadi pepimpin yang di takuti, oleh sebangsanya.

Sebaliknya, demokrasi yang berkembang ditetangga sebelah yang dialami umat manusia, mengalami kesemrawutan. Sikap para pemilih, di warnai dengan warna abu-abu. Masa digerak’kan untuk ikut kampanye, asal dikasih uang pesangon. Mobilisasi masa kampanye, hanya didasari oleh selembar uang. Bukan berdasarkan simpatisan murni, berdasar hati nurani. Bisa disebut, masa bayaran. Celakanya, para pemilih pun kepincut, dan ikut dalam praktek kotor ini. Gratifikasikah?, iya. Inilah uang sogok’kan, yang sekiranya sepele tapi efeknya, luar biasa. Justru dari praktek inilah, lahirnya koruptor kelas kakap.

Maka saya akan sedikit merubah sajak Wiji Tukul, ‘Jika kau menghamba pada uang, kau akan memperpanjang barisan para calon koruptor!’

Di sudut lain. Para caleh berbondong-bondong, sok berbuat soleh dengan peduli pada masyarakat. Lihat saja pada waktu kampanye, para oknum caleg, turun ke lapangan, mejual ‘kepedulian semu’ untuk ditukar dengan selembar suara. Sikap baik yang serba mendadak ini, sudah beralut-ralut dari tahun ke tahun. Masyaraat diperas melalui, demokrasi yang picik. Ngerinya lagi, para caleg menyusun strategi, menyasar segmentasi (pasar) masyaraat yang minim informasi. Kelas masyarakat inilah menjadi sasaran empuk para manusia dasi berekor tikus. Dari sini masyarakat dituntut, untuk mendapatkan informasi yang se-akurat mungkin mengenai calon kandidat, caleg.

Di jalan-jalan raya, sampah visual berupa baliho dan reklame membuat masalah baru. Sampah visual ini bertebaran dimana-mana. Celakanya, masyarakat disuguhi dengan sampah visual beserta seperangkat janji dan slogan ini-itu. Janji di tebar, isu kesejahteraan di umbar sebagai alat pemantik suara. Lewat baliho inilah, para caleg berkampanye memperkenalkan diri ke masyarakat. Seolah-olah tak ada alat selain baliho, yang bisa digunakan untuk alat kampanye. Dari kasus ini, terlihat jelas, para caleg minim gagasan. Padahal sebagian besar caleg, lulusan sarjana. Tidak’ bisakah, kampanye dikemas dengan cara yang rapi, menonjolkan ide yang cemerlang, sekaligus menjual prestasi bukan sensai yang berkarip denga popularitas.

Perpaduan antara oknum caleg yang picik dengan masyarakat yang mudah di sogok dengan selembar uang, beras, dan gratifikasi lainnya akan memperburuk demokrasi di negeri ini. Praktek inilah, yang akan membuat kisruh negara ini ke depannya. Tidak salah lagi, dua elemen keramat ini sebagai penentu kemana arah burung burung Garuda akan terbang. Jika praktek itu akan terus berlanjut, buka tidak mungkin burung Garuda akan tersungkur.

Cintra politik di Indonesia yang kotor, semakin jatuh ke dalam lumpur akibat ulah mereka yang tidak bertanggung jawab, dan sembrono. Stigma politik itu kotor, semakin menjadi-jadi. Padahal, berpolitik esensisnya adalah bertugas mengapdi kepada masyaraat. Melayani, dan mampu ngemong rakyat. Saya kira tidak ada profesi yang kotor, yang kotor hanya oknumnya.

Uniknya, negeri ini punya sejarah politik yang berprestasi. Sejarah mencatat, wakil presiden pertama republic ini, bung Hatta. Mengemban jabatan politik tidak memperkaya diri, mau pun kelompok tertentu. Kebersahaja’anya membuat dahi berkerut. Lihat saja, sewaktu Bung Hatta pensiun, Bung Hatta tak mampu bayar tagihan listrik, gas, air & telepon. Bilau tak cukup uang karena beliau tak memupuk harta saat jadi wapres. Untunglah, Ali Sadikin, gubernur Jakarta pada saat itu akhirnya melunasi semua tagihan Bung Hatta. Menjadikan beliau warga kehormatan Jakarta. Sejatinya, politik di Republik ini dirintis oleh orang yang berdedikasi tinggi. Dan mampu ngemong rakyat. Bung Hatta, seosok pejabat yang ngerti kemana politik disematkan, yaitu masyarakat.

Jika kita mendiamkan orang buruk memimpin negara ini, apa bedanya kita dengan binatang!. Mendiamkan masalah sama halnya, melestarikan kejahatan. Pembiaran berlarut, maka masalah pun berlanjut. Lalu apa bedanya kita dengan penjahat?. Jika orang baik diam, yang berkuasa akan di dominasi orang jahat. Orang baik akan tergusur.

Padahal lewat politiklah, kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di buat dan diputuskan. Jika yang berkuasa orang-orang jahat, maka anak cucu kita akan mewarisi cerita sejarah yang buram. Dan inilah saatnya musim Demokrasi telah tiba, mendorong orang-orang baik untuk terjun ke politik dan ikut rame-rame gotong royong memilihnya. Jika yang memipin negeri ini orang baik, sejarahwan tak akan meneteskan air mata saat menuliskan kisah pepimpinnya.

Surabaya, 02 Maret 2014.

blogg: http://boediinstitute.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun