Heroisme Sumpah Pemuda tidak sebatas koreksi bagi bangsa, tetapi sebagai penyadaran posisi jati diri bangsa secara kultural dalam persepsi kewilayahan tanah dan air Indonesia.
Dari kekuatan kesadaran sebagai penghuni negara kepulauan, akan lahir ketajaman visi dan strategi yang cerdas kreatif sesuai amanah Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia.
Ada salah kaprah tentang definisi pemuda selama ini. Pemuda, hanya ditinjau dari segi fisik dan psikis, pemuda sering dikaitkan dengan usia produktif atau semangat yang menggelora.
Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya: "The time of life between childhood and maturity, early maturity. The state of being young or immature or inexperienced, the freshness and vitality characteristic of a young person".
World Health Organization (WHO) pun menggolongkan usia 10-24 tahun sebagai young people, remaja (adolescence) berusia 10-19 tahun. Di Kanada justru menerapkan: "After age 24, youth are no longer eligible for adolescent social services".
Dalam Al-Qur'an pemuda diterjemahkan dalam konteks sifat dan sikap. Pemuda dinilai memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam perkataan.
Kisah Ash-habul Kahfi, disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai pemuda-pemuda yang optimis, teguh dalam pendirian dan konsisten dalam perkataan (QS.Al-Kahfi:13-14).
Pemuda juga digambarkan sebagai sosok yang tidak kenal putus asa, pantang menyerah apalagi mundur sebelum mencapai cita-cita seperti diperankan pemuda (Nabi) Musa kepada muridnya (QS.Al-Kahfi:60).
Kita harus menolak lupa garis besar amanah Sumpah Pemuda, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia, nyaris mengalami kepunahan. Lahirnya kelompok-kelompok massa kepemudaan berbasis suku, menjadi pemicu perpecahan.
Tak jarang kita mendengar perang antar suku, bentrokan antar ormas yang pemicunya hanyalah perebutan daerah kekuasaan atau hal-hal yang dianggap sepele lainnya. Belum lagi bentrokan antar pelajar yang dari hari kehari semakin meresahkan. Sampai hal yang paling memalukan, bentrokan antar mahasiswa.
Sungguh ironis, ironis dikala mengingat sejarah yang ada delapan puluh lima tahun silam. Pemuda dari berbagai suku dan etnis bersatu melawan penjajah demi mencapai kemerdekaan Indonesia. Para pemuda turun ke medan perang melawan penjajahan, baik dengan pemikiran mau pun dengan mengorbankan darahnya.