Para pemain kita keteteran menghadapi serangan balik dan serangan Malaysia yang tampil lebih segar karena menerapkan rotasi yang lebih kerap.
Bima Sakti perlu belajar dari Shin Tae Yong yang secara cerdik membangun sistem rotasi di timnas senior dan timnas usia muda yng ia tangani.Â
Kedua, timnas U17 minim keberagaman pemain IndonesiaÂ
Jujur saja, timnas Indonesia U17 ini seperti kurang mewakili keberagaman pemain Indonesia. Sosok brilian yang mengawal jantung pertahanan adalah Muhammad Iqbal Gwijangge. Sayang sekali, Iqbal absen karena cedera kala pertandingan melawan Palestina.Â
Iqbal memang berdarah Papua, namun ia memperkuat Bandung Pro United. Dari para pemain Indonesia U17, tak seorang pun pemain berasal dari klub dan tim pembinaan di Papua, Maluku, Sumba, Flores dan daerah-daerah lain di Indonesia timur.Â
Menjadi sebuah pertanyaan kritis: apakah pelatih Bima Sakti dan talent scout PSSI serius memantau bakat-bakat dari seluruh Indonesia? Jika serius, bukan mustahil menemukan Iqbal-Iqbal lain di timur negeri kita tercinta ini.Â
Hal berbeda terjadi di timnas usia yang lebih tua. Cukup banyak talenta dari Indonesia timur yang telah, sedang, dan akan dilibatkan . Mengapa hasil seleksi timnas 17 seperti timpang?Â
Padahal, para pemain dari timur Indonesia terkenal memiliki daya tahan dan postur tubuh yang ideal sebagai atlet sepak bola. Blusukan ke timur Indonesia harus lebih giat lagi dilakukan.Â
PSSI juga perlu melebarkan sayap investasi dan pembinaan ke timur Indonesia. Di sanalah akan kita temukan pula talenta-talenta handal seperti Boas Salossa.
Ketiga, minim taktik berorientasi hasil
Sangat disayangkan bahwa pada babak pertama, timnas kita sudah kebobolan lima gol tanpa balas. Sebuah situasi yang kemungkinan besar lahir karena minimnya taktik berorientasi hasil dari tim pelatih.