Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Idul Fitri, Kenaikan Isa Almasih, dan Keheranan Orang Bule akan Indonesia

13 Mei 2021   06:05 Diperbarui: 13 Mei 2021   08:31 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi dan kebebasan beragama. Sejumlah warga berjalan menuju Masjid Istiqlal untuk melaksanakan Salat Idul Adha seusai memarkir kendaraan bermotornya di Gereja Katedral, Jakarta, Minggu (11/8/2019) - (ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR)

Yang membentuk saya menjadi insan cinta tanah air justru adalah pengalaman bersaudara dan bersahabat dengan insan berbeda latar belakang suku, agama, dan ras di Indonesia tercinta.

Sewaktu kecil, saya diasuh juga oleh para asisten rumah tangga yang tidak seagama dengan saya. Salah satunya Mbak Rani (sebut saja demikian), seorang muslimah. 

Mbak Rani termasuk ART yang lama bekerja di rumah keluarga kami. Ia merasa nyaman-nyaman saja bekerja di rumah kami yang tentu saja memasang salib dan atribut kekatolikan. 

Mbak Rani menjalankan salat di musala di belakang rumah kami. Musala itu milik tetangga kami, sebuah keluarga muslim yang saleh. Orangtua saya selalu mendukung ibadah yang dilakukan karyawan dan karyawati toko sederhana kami. 

Ketika jelang Idulfitri, orangtua saya berusaha juga memberi THR semampunya bagi karyawan-karyawati. Kadang Ibu saya juga membelikan hadiah berupa peralatan penunjang ibadah. 

Kebiasaan orangtua kami memberikan THR dan hadiah perayaan hari besar keagamaan ini diikuti oleh adik saya, seorang pengusaha UMKM tanaman hias. Biarpun omzet penjualan di tengah pandemi turun, tetap diusahakan THR demi kebahagiaan karyawan di hari Lebaran.

Kebetulan, keluarga saya juga memiliki iman dan kepercayaan beragam. Saat Lebaran dan Natal (sebelum pandemi), keluarga besar kami selalu bersilaturahmi. 

Ketika kerabat yang muslim menyelenggarakan hajatan dan doa atau ibadat, kerabat nonmuslim membantu. Demikian sebaliknya. Saling mengucapkan selamat hari raya keagamaan sudah biasa kami lakukan sejak lama. 

Keluarga besar kami pun terbuka menikah dengan suku-suku lain. Saat ini dalam keluarga besar kami ada suku Jawa, Manado, Batak, Sunda, dan keturunan Tionghoa dan Belanda. 

Sungguh, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menyatukan kita. Tak terbayangkan, bagaimana seandainya tiada falsafah hidup yang menjadi pengikat kita sebagai bangsa yang besar dan beragam ini. 

Salut untuk para pendiri bangsa dan para tokoh pergerakan nasional serta pahlawan kita yang telah berjuang menyatukan negeri. Mereka tentu punya kebanggaan terhadap suku, agama, dan ras masing-masing. Akan tetapi, demi persatuan, kebanggaan primordial itu mereka tanggalkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun