Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Wahai Penulis Bukan Pujangga, Jangan Takut Menulis Puisi Sederhana

17 Juli 2020   08:55 Diperbarui: 17 Juli 2020   08:59 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku puisi- Sumber: pexels.com

"Menulis puisi? Nggak banget, deh. Harus tahu diksi. Harus "nyeni". Harus ini dan itu."

Apakah sebuah puisi harus rumit? Coba simak puisi berikut:

"Tiap orang sendirian di jantung bumi/ditembus seberkas sinar mentari/dan tetiba senja."

Coba hitung berapa baris dan berapa kata istimewa dalam puisi di atas? Bagi saya, puisi tiga baris itu tidak memuat satu pun kata yang istimewa. Akan tetapi, puisi nan bersahaja itu indah. 

Apa yang membuatnya indah? Bukan kerumitan kata-kata. Bukan pula jumlah baris. Justru, keindahannya terletak pada kesederhanaannya.

Agar Anda tak salah kira, bukan saya yang mencipta puisi di atas. Lalu, siapa? Beberapa waktu lalu, saya telah menyajikan terjemahan dua puisi peraih Nobel Prize for Literature pada 1959. Dialah Salvatore Quasimodo (1901-1968). Salvatore adalah salah satu penyair besar Italia abad ke-20.

Nah, puisi sederhana di atas rupanya adalah karya sang peraih Nobel sastra. Judul aslinya "Ed e subito sera" (Tetiba Senja). Mungkin Anda saat ini berkomentar,"Masak sih puisi penyair kelas dunia cuma begitu?"

Subjektivitas Penilaian Karya Sastra

Sebuah tulisan bisa mendapatkan tanggapan yang amat berlainan. Termasuk puisi dan karya sastra lainnya. Ada pembaca yang menilai, puisi yang baik harus lumayan panjang dengan diksi unik dan metafora yang memesona.

Akan tetapi, ada pula pembaca yang justru bahagia ketika membaca puisi sederhana. Metafora tidak lebay. Makna puisi segera ditangkap oleh pembaca yang biasa-biasa saja.

Dalam perlombaan sastra tingkat manapun, subjektivitas penilaian karya sastra tetap bermain. Soalnya, karya sastra bukan matematika. Tentu saja, subjektivitas itu tidak lantas berarti sembarang puisi patut dipuji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun