"Menulis puisi? Nggak banget, deh. Harus tahu diksi. Harus "nyeni". Harus ini dan itu."
Apakah sebuah puisi harus rumit? Coba simak puisi berikut:
"Tiap orang sendirian di jantung bumi/ditembus seberkas sinar mentari/dan tetiba senja."
Coba hitung berapa baris dan berapa kata istimewa dalam puisi di atas? Bagi saya, puisi tiga baris itu tidak memuat satu pun kata yang istimewa. Akan tetapi, puisi nan bersahaja itu indah.Â
Apa yang membuatnya indah? Bukan kerumitan kata-kata. Bukan pula jumlah baris. Justru, keindahannya terletak pada kesederhanaannya.
Agar Anda tak salah kira, bukan saya yang mencipta puisi di atas. Lalu, siapa? Beberapa waktu lalu, saya telah menyajikan terjemahan dua puisi peraih Nobel Prize for Literature pada 1959. Dialah Salvatore Quasimodo (1901-1968). Salvatore adalah salah satu penyair besar Italia abad ke-20.
Nah, puisi sederhana di atas rupanya adalah karya sang peraih Nobel sastra. Judul aslinya "Ed e subito sera" (Tetiba Senja). Mungkin Anda saat ini berkomentar,"Masak sih puisi penyair kelas dunia cuma begitu?"
Subjektivitas Penilaian Karya Sastra
Sebuah tulisan bisa mendapatkan tanggapan yang amat berlainan. Termasuk puisi dan karya sastra lainnya. Ada pembaca yang menilai, puisi yang baik harus lumayan panjang dengan diksi unik dan metafora yang memesona.
Akan tetapi, ada pula pembaca yang justru bahagia ketika membaca puisi sederhana. Metafora tidak lebay. Makna puisi segera ditangkap oleh pembaca yang biasa-biasa saja.
Dalam perlombaan sastra tingkat manapun, subjektivitas penilaian karya sastra tetap bermain. Soalnya, karya sastra bukan matematika. Tentu saja, subjektivitas itu tidak lantas berarti sembarang puisi patut dipuji.