Pagi yang berawan. Saya baru saja menyesaikan suatu keperluan di sebuah kantor. Saya ingin menuju jalan di seberang perhentian trem. Akan tetapi, langkah saya terhalang oleh sebuah trem yang berhenti. Ya sudah, saya menunggu saja di ujung zebra cross. Di sebelah kiri saya, seorang kakek juga menanti untuk menyeberang.
Beberapa saat kemudian, trem di depan saya pelan-pelan melaju ke jalan di sebelah kiri saya.Â
Sebelum menyeberang, saya terbiasa menengok ke kiri dan kanan dua kali.Â
Saya lihat dari sisi kiri saya, datang trem lain dengan kecepatan sedang. Kakek di sebelah kiri saya sudah ingin menyeberang. Ia hanya fokus melihat ke depan, ke arah trem yang tadinya berhenti dan telah berangkat tadi.Â
Secara refleks, saya tarik lengan kanan sang kakek sambil memperingatkan bahwa ada trem lewat. Beda dengan mobil atau motor, trem tidak bisa mengerem mendadak. Seandainya si kakek menyeberang saat itu, entah apa jadinya...
Sang kakek dengan tulus mengucapkan terima kasih. Saya bersyukur diberi kesempatan Tuhan untuk menolong seseorang karena saya tidak sibuk gunakan ponsel saat menyeberang jalan.Â
Seandainya saya fokus ke ponsel alih-alih melihat situasi sekitar, mungkin saya tak akan dapat menolong si kakek tadi.
Tidak Sibuk Gunakan Ponsel
Saya memang tidak sibuk berponsel saat berjalan di area publik. Apalagi saat menyeberang jalan, saya tidak akan pernah sibuk berponsel ria. Seandainya ada panggilan masuk pun, pasti tidak akan saya angkat.
Jujur, saya heran melihat sejumlah pejalan kaki yang asyik dengan ponsel, penyuara telinga (earphone), atau bahkan penyuara jemala (headphone) saat menyeberang jalan.
Menyeberang jalan dengan fokus pada gawai bisa sangat berbahaya bagi pejalan kaki.Â