Siaran pers peneliti ICJR Ajeng Gandini Kamilah  12 Oktober 2017 ini mungkin dapat memberi sedikit gambaran. Ajeng menulis, setakat ini banyak korban Bom Bali I tidak mendapat layanan bantuan medis, psikologis dan psikososial dari pemerintah.Â
Ajeng memaparkan, pemberian kompensasi berdasarkan keputusan pengadilan baru diberikan untuk korban peristiwa Bom Marriott dan aksi teror di Samarinda yang terjadi pada akhir 2016. "Itupun belum dieksekusi," pungkasnya.
Kita khawatir, jawaban dari rangkaian pertanyaan saya di atas adalah tidak atau belum. Artinya, pemerintah masih belum fokus membantu para korban terorisme.Â
Jika benar demikian, mengapa pemerintah justru sibuk mengurusi pemulangan eks kombatan ISIS?Â
Perspektif Eks Kombatan
Agar berimbang, pemerintah perlu juga mendengarkan pendapat eks kombatan dan keluarga yang dibawa serta ke luar negeri. Akan tetapi, sekali lagi, pertama-tama pemerintah harus mendengarkan dahulu pendapat para korban terorisme.Â
Seperti pendapat Prabowo Subianto, tentu ada perbedaaan kadar keterlibatan seseorang dalam aksi terorisme. Ada pelaku yang sungguh secara sadar bergabung dengan organisasi teror, bahkan sampai membakar paspor RI dan menjual harta. Bukan hanya itu, pelaku ini juga mempengaruhi anggota keluarga untuk ikut dengannya.Â
Ada juga anggota keluarga yang terpaksa ikut atau menjadi korban cuci otak. Tentu kadar keterlibatan mereka tak semendalam pelaku "tingkat pertama" tadi.Â
Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa
Masalahnya, bagaimana pemerintah dapat menentukan mana "pelaku tingkat pertama" dan mana pelaku yang ikut-ikutan atau terpaksa. Locus delicti atau TKP terorisme internasional ini berada di luar negeri.
Tambah lagi, terorisme adalah kejahatan luar biasa yang sulit diungkap. Amat sulit menggali informasi dan kesaksian mengenai kiprah para pelaku teror. Jika hanya mengandalkan pengakuan pelaku, apa jadinya proses evaluasi mengenai kadar keterlibatan pelaku?
Selain itu, terorisme adalah kejahatan luar biasa karena terkait ideologi yang dianut seseorang. Deradikalisasi tak semudah yang kita bayangkan. Negara-negara maju pun kebingungan menyusun program deradikalisasi. Sebagian pelaku teror langsung melakukan aksi setelah bebas dari penjara.
Nah, seberapa manjur selama ini program deradikalisasi yang dijalankan di Indonesia? Yakinkah mampu mengubah cara pandang eks kombatan organisasi teror internasional?