Saya kutip pemberitaan Kompas.com, 12 Oktober 2016 mengenai Nyoman Rencini:
"Nyoman Rencini hingga kini masih takut dengan kompor gas dan api. Janda korban Bom Bali I ini trauma setelah suaminya Ketut Sumerawat menjadi korban ledakan bom. Â Trauma berkepanjangan ini juga dialami anak-anaknya.Â
Dalam buku berjudul "Janda-janda Korban Terorisme di Bali", Warga Buleleng ini mengungkapkan bahwa ketika itu suaminya sudah dua bulan tidak pulang. Namun yang datang ternyata kabar buruk.Â
"Gelap, saya tidak bisa berpikir apapun, kosong dan bengong," ucapnya. "Sampai sekarang, saya tidak berani masak. Takut sama kompor gas, apalagi waktu itu kan pemberitaan di televisi, disiarkan terus, jadi takut saya, sampai sekarang," ujarnya.
Tentang pemulangan eks kombatan ISIS dan organisasi teroris lain, pemerintah semestinya bertanya dulu pada para korban terorisme di tanah air.Â
Apakah para korban terorisme dan keluarga mereka setuju jika pemerintah Indonesia memulangkan eks kombatan ISIS? Jika setuju, apa saja alasan yang melatarbelakangi. Jika tidak, mengapa?
Pada hemat penulis, pemerintah seharusnya memprioritaskan (keluarga) korban terorisme yang mungkin selama ini justru kurang atau belum diperhatikan pemerintah.Â
Di media sosial, warganet mengunggah foto dan sekelumit kisah korban terorisme di tanah air. Ada foto anak-anak yang menjadi cacat seumur hidup karena jadi korban ledakan bom teroris.Â
Apakah pemerintah membantu anak-anak korban terorisme ini dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi medis gratis? Apakah negara memberi beasiswa bagi anak-anak korban terorisme ini?Â
Tidak usah muluk-muluk, sejumlah pertanyaan mendasar bisa kita ajukan:
Apakah pemerintah punya data sahih para korban terorisme di tanah air?
Apakah ada lembaga khusus yang sungguh mendampingi para korban teroris ini? Apakah ada kementerian tertentu yang memperhatikan para korban terorisme di Indonesia? Apakah ada anggaran khusus bagi para korban terorisme?