Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikmah Kasus Tous Les Jours bagi Pebisnis di Indonesia Berpancasila

23 November 2019   05:53 Diperbarui: 23 November 2019   05:58 5502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama Tous Les Jours mendadak viral di linimasa media sosial, khususnya Twitter pada 22 November 2019. Sebabnya, seorang warganet mengunggah pengumuman kontroversial yang ditempel di jendela sebuah gerai waralaba kue asal Korea Selatan ini.

Inti dari pengumuman itu ialah bahwa toko tidak boleh menulis ucapan selamat hari raya agama-agama tertentu. Secara spesifik, pengumuman itu memberi contoh Natal dan Imlek. Selain itu, toko juga tidak membuat ucapan selamat Haloween dan Valentine.

Profil Tous Les Jours 

Tous Les Jours adalah waralaba roti Korea Selatan yang dimiliki oleh CJ Foodville, grup bisnis CJ Group.  

CJ Group adalah perusahaan induk konglomerat Korea Selatan yang berkantor pusat di Seoul. Grup inibergerak dalam berbagai bisnis di berbagai industri makanan dan layanan makanan, farmasi dan bioteknologi, hiburan dan media, belanja rumah dan logistik. CJ Group awalnya adalah cabang Samsung hingga terpisah pada 1990-an. 

CJ berasal dari 'Cheil Jedang' yang secara harfiah dapat berarti "pembuatan gula pertama", industri di mana ia awalnya dimulai. Anak perusahaan CJ yang terkenal meliputi CJ Cheil Jedang (Makanan dan Minuman), CJ Korea Express (Logistik), CJ Olive Networks (Toko Kesehatan & Kecantikan & IT), CJ ENM (Hiburan dan Eceran), dan CJ CGV (Cinema Chain).

Tous Les Jours berarti 'sehari-hari' dalam bahasa Prancis. Tous Les Jours adalah toko roti "Asia-Prancis" yang menyajikan pilihan barang dan minuman roti. TLJ memiliki lebih dari 1.300 gerai di Asia dan Amerika Serikat.

Tous Les Jours didirikan pada tahun 1996, dengan pembukaan toko pertama di Guri, Korea Selatan pada September 1997. Perusahaan ini mendirikan fasilitas adonan beku di Um-Sung, Korea Selatan pada November 1997, dan sejak itu memulai produksi dan distribusi massal. Pada bulan September 1998, perusahaan Tous Les Jours mulai memberikan lisensi waralaba kepada publik.

Klarifikasi Manajemen TLJ

Menanggapi viralnya kontroversi pengumuman larangan ucapan hari besar agama-agama tertentu, manajemen TLJ segera memberikan klarifikasi. 

"Ada miskomunikasi untuk masalah penyampaian dan penerimaan informasi internal kami, maka hal tersebut bisa terjadi. Tapi sudah kami tindak lanjuti, kita juga sudah melakukan pendisplinan, dan sudah meluruskan komunikasi yang ada dan dapat dipastikan itu bukanlah arahan dari manajemen kami," kata Marketing Manager TOUS les JOURS, Kathy Syahrizal di Kantor Manajemen TLJ, di Menara Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2019).

Keanehan Pengumuman Larangan  Tersebut

Warganet menemukan ada yang aneh dengan pengumuman larangan ucapan selamat hari besar agama-agama tertentu di waralaba TLJ tersebut.

Beberapa warganet menulis kurang lebih demikian: "Aneh, waralaba Korea Selatan kok memasang pengumuman seperti itu". Sementara warganet lain menengarai, pengumuman yang sempat terpasang itu bukan hanya di satu gerai saja, namun juga di gerai lain di Surabaya. Artinya memang bukan hanya di satu gerai semata yang diduga berlokasi di Jakarta.

Bukan TLJ Saja

Praktis pelarangan ucapan hari besar agama-agama tertentu bukan saja pernah dilakukan -entah secara keseluruhan atau "ulah oknum"-oleh TLJ saja. Sebuah toko kue bernama Chocolicius pada Desember 2017 menolak permintaan klien yang ingin tulisan selamat hari besar agama di kue tar pesanannya. 

The Jakarta Post dalam pemberitaannya secara gamblang mengatakan bahwa mengucapkan ucapan hari besar agama-agama lain memang masih menjadi perdebatan di kalangan warga di Indonesia. Beberapa berpendapat bahwa mengucapkan selamat pada pemeluk agama-agama lain boleh saja sebagai wujud persaudaraan. 

Sementara itu, sebagian lagi berpendapat bahwa hal ini tidak sesuai dengan hukum agama. Soal ini, masing-masing pemuka dan pemeluk agama lah yang berhak menafsirkan dan memilih tafsiran mana yang diikuti.

Ada lagi contoh pengalaman nyata soal diskriminasi konsumen atas dasar agama. Rekan-rekan penulis juga pernah ditolak oleh sebuah gerai fotokopi di sebuah kota di Kalimantan. 

Mengapa? Semata-mata karena pemiliknya berbeda agama dengan rekan-rekan penulis yang saat itu mengenakan aksesoris religius tertentu, lalu memutuskan untuk tidak melayani konsumen beda agama. 

Sejatinya, hal-hal diskriminatif semacam itu tidak akan terjadi jika kita mampu menempatkan diri sebagai konsumen. Coba bayangkan, hujan-hujan datang ke gerai fotokopi, lalu ditolak pemilik usaha karena agama beda. 

Jika memang memiliki alasan tertentu untuk hanya melayani konsumen seagama, hendaknya memilih kegiatan usaha yang sifatnya memang spesifik menarget pemeluk agama tertentu saja. 

Membuka toko kue di mal yang ramai tentu menarik kedatangan konsumen lintas agama, lalu kan konsumen kecewa jika ternyata toko itu hanya melayani agama tertentu saja. Lain halnya jika membuka toko perlengkapan ibadah atau rohani, tentu hampir seluruh konsumen yang datang adalah pemeluk agama tertentu. Tak perlu acara pasang pengumuman "toko ini dilarang ini-itu". 

Ini pun sejatinya tidak ideal karena tetap bisa membentuk tembok-tembok pemisah, namun bisa jadi pilihan "minus malum" atau pilihan terakhir. 

Hikmah bagi Pebisnis di Indonesia Berpancasila

Apa hikmah kasus Tous Les Jours bagi pebisnis di Indonesia berpancasila? Sebagai entitas bisnis di negara yang berlandaskan Pancasila, tiap pebisnis di Indonesia kiranya wajib mempraktikkan juga nilai-nilai kebhinekaan dan kebangsaan.

Kita sepakat -entah kita ini dari suku, agama, dan ras mana-bahwa tanah air kita adalah tanah air yang satu dan sama. Kita sepakat bahwa Pancasila dengan, antara lain, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia adalah nilai-nilai yang patut kita hayati dalam hidup sehari-hari. Juga dalam berbisnis.

Gesekan-gesekan berbau perdebatan soal agama dalam masyarakat sebenarnya tidak perlu terjadi jika semua pebisnis dan pengusaha -besar dan kecil- menerapkan keluhuran Pancasila dan cinta kepada sesama warga bangsa.

Bukankah tujuan berbisnis itu mulia: mengangkat harkat manusia yang terlibat di dalamnya dengan rezeki yang didapat dengan cara yang sah dan sesuai ajaran-ajaran luhur semua agama?

Sekadar Kisah Keindahan Berbisnis Lintas Agama

Adik penulis memiliki sebuah usaha yang mempekerjakan karyawan dari agama-agama yang berbeda. Justru kebanyakan karyawan di situ tidak seagama dengan si pemilik usaha. 

Keindahan terjadi saat adik saya susah-payah mengusahakan agar karyawan-karyawan yang merayakan lebaran bisa mendapat Tunjangan Hari Raya. Padahal, bisnis adik penulis sedang sepi. Prinsipnya, hak-hak karyawan dalam hal kebebasan beribadah dan keleluasaan serta kegembiraan karyawan dalam merayakan hari-hari besar agama harus dijamin olehnya sebagai pebisnis.

Justru karena karyawan berbeda-beda agama, adik saya senang karena di saat agama A berhari raya, masih ada karyawan beragama B yang bisa bergantian menjalankan roda bisnisnya. 

Saling mengisi dan saling melengkapi, bukan? Tambah lagi, kerukunan antar umat beragama bisa diciptakan di tempat kerja. Jadi, bisnis yang lintas agama itu sungguh indah! 

Wasana Kata

Tulisan ini dianggit dengan kesadaran bahwa isu agama selalu jadi perdebatan di negeri kita. Terutama karena isu agama dengan mudah dipolitisasi oleh politikus dan partai. Juga, isu agama kerap dikomersialisasi. 

Agama sering dijadikan magnet untuk menarik konsumen, meski sejatinya kualitas dan kredibilitas (pe)bisnis amat meragukan. Contoh nyata, kasus investasi bodong dengan menggaet pemuka agama sebagai "bintang iklan"nya. Sekadar catatan, ini bukan cuma terjadi pada pemuka agama A atau B saja. 

Penulis prihatin, bukan demi membela agama-agama tertentu saja. Akan tetapi, lebih-lebih penulis prihatin karena ulah sebagian pemeluk agama justru kurang mencerminkan keindahan ajaran luhur agama-agama di Indonesia tercinta. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. 

Apa yang (sempat) terjadi dengan TLJ dan Chocolicius semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pebisnis dan kita semua: berbisnis di Indonesia ya artinya menghayati Pancasila dalam praktik bisnis sehari-hari. 

Kita harus ingat juga, kemerdekaan kita adalah buah perjuangan para pahlawan lintas agama, suku, dan ras. Tidak elok memperlakukan orang secara diskriminatif semata karena perbedaan SARA. 

Anjuran ini berlaku bukan hanya bagi pemeluk satu agama saja, karena beda provinsi/kota di negara kita, beda pula siapa yang jadi "agama mayoritas"! 

Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan. 

Salam cinta tanah air, Indonesia berpancasila. 

Rujukan: [1] [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun