Mohon tunggu...
bob bob
bob bob Mohon Tunggu... -

only a guy

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peristiwa 12 Mei 1998, Siapa yang Bertanggung Jawab?

12 Mei 2010   22:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tragedi 12-13 Mei 1998 menyisakan luka mendalam. Puluhan perempuan diperkosa, seribu orang lebih tewas atau hilang dalam berbagai huru-hara rasial di berbagai kota di Indonesia.  Perempuan etnis Tionghoa korban kekerasan seksual dan pemerkosaan massal pada Mei 1988 masih bersikap diam, membisu atau bahkan bungkam, seolah tak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Meski begitu, mereka mendambakan realisasi komitmen negara dan masyarakat untuk pemulihan hak mereka sebagai warga negara.

Suatu keadaan dimana massa bertindak diluar kendali batasan norma dengan sasaran manusia yang digolongkan lain etnis. Mengapa mereka tiba2 menjadi beringas dan berlaku amoral ?. Sangat mungkin mereka adalah orang2 yang dekat dengan etnis Tionghoa yang mendominasi perdagangan dan ekonomi negeri ini, dekat karena kebutuhan ekonomi. Mereka yang banyak berhubungan inilah yang paling merasa cemburu dengan keadaan ekonomi kaum Tionghoa yang relatif lebih mapan. Keadaan yang lebih mapan tersebut membuat mereka bertindak mengatur termasuk mampu mengatur birokrat kita. Hubungan ekonomi antara penduduk pribumi dengan etnis pendatang tersebut menimbulkan hak dan kewajiban yang kadang menimbulkan perselisihan dan perselisihan sering diselesaikan dengan sikap penekanan.  Faktor inilah yang menimbulkan dendam kaum tertekan, saat ada kesempatan maka kesempatan itu dilampiaskan sebagai pembalasan dendam.

Bisnis kadang tidak mengenal belas kasihan, penguasa bisnis akan dinilai sikapnya dan tidak heran jika etnis Tionghoa sebagai pemegang kendali bisnis menjadi sasaran penilaian. Sebuah pendalaman ajaran yang menekankan manusia harus berbuat sosial, harus menjadi orang baik yang tertanam dalam masyarakat.  Etnis tionghoa yang sukses dinilai tidak bersikap kepada masyarakat yang sudah tertanam pemahaman orang yang mapan harus membantu yang miskin dan sikap tegas dalam hak dan kewajiban itu dinilai sebagai sikap yang arogan dan kejam. Dendam itu begitu tertanam dan ketika orang yang selama ini merasa tertekan oleh pandangannya itu merasa kuat ketika berkumpul. Tak ada yang memimpin, tidak ada yang mampu mengendalikan, dendam itu membuat mereka bertindak brutal diluar norma yang berlaku.

Prilaku masyarakat yang terbentuk karena kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial yang berlarut2 dan tak tertangani oleh negara akibat kesenjangan ekonomi itu menjadikan manusia saling bunuh. Siapa yang harus bertanggung jawab ?. Pejabat negara merasa tidak bersalah karena hukum tidak mengaturnya. Tidak pula menyalahkan  norma manusia harus bersikap sosial dan etnis Tionghoa tidak pula harus diingatkan karena hal itu adalah sebuah keadaan yang terjadi secara alamiah dalam sebuah komunitas, komunitas yang mempunyai kesenjangan ekonomi yang cukup tajam. Tak perlu pula menyalahkan mereka yang menjadi bandar besar narkoba atau menjadikan rumah mewah sebagai pabrik narkoba atau etnis apa yang melakukannya karena hukum telah mengatur.

Undang2 melarang mempertentangkan etnis atau agama, undang2 itu sekaligus membungkam masyarakat untuk berpikir akar permasalahan. Ibarat api dalam sekam yang terus membesar, kesenjangan ekonomi yang tak kunjung dapat diatasi, sikap pemerintah yang tidak peka, penggusuran kaum pedagang kecil, perselisihan tanah yang berujung penghancuran, suatu saat akan meledak lagi menjadi kerusuhan etnis atau agama. Peristiwa ambon, peristiwa 12 Mei 1998 masih membekas, perburuan teroris, semua membawa korban nyawa manusia yang tidak sedikit. Situasi politik yang chaos akibat perebutan pengaruh kekuasaan dapat mengabaikan pembangunan perekonomian negara ini.  Kesenjangan ekonomi yang berkepanjangan itu dapat menimbulkan dendam dan kegilaan massa, berawal dari demo anarkis dengan sasaran pemerintah, jika pemerintah tidak mampu meredam, bukan tidak mungkin peristiwa semacam 12 Mei 1998 itu terulang. Belum lama berselang peristiwa Priok, rakyat melawan tindakan Satpol PP, dendam itu dilampiaskan dengan pembunuhan dan perusakan asset satpol PP dan polisi. Sebuah pelajaran lagi yang diterima penguasa, tetapi apakah pelajaran tersebut dapat diserap, itulah yang masih menjadi pertanyaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun