Program Makan Sehat Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai soroton. Sebanyak 24 siswa dan seorang guru SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, mengalami keracunan setelah menyantap menu ikan hiu filet saus tomat, oseng kol, dan wortel pada senin (23/9). Makanan disebut berbau anyir dan sayuran sudah berlendir.
**
Ada-ada saja menu MBG: siswa disuguhi makanan yang tak biasa. Makanan dengan lauk ikan hiu menjadi menu utama. Saya justru berpikir, apakah memakan ikan hiu sebagai lauk dapat meningkatkan gizi untuk tumbuh kembang anak?
Ikan hiu merupakan predator puncak dalam rantai makanan laut. Karena proses biomagnifikasi, hiu dapat mengakumulasi merkuri dalam jumlah besar.Â
Merkuri dapat merusak sistem saraf, ginjal, hati, dan mengganggu perkembangan otak anak serta janin jika dikomsumsi ibu hamil.
Menu ikan hiu jarang dikonsumsi oleh anak-anak. Tubuh mereka rentan terhadap zat beracun, sehingga risiko keracunan meningkat. Â Dalam kasus MBG di Kalimantan Barat, ikan hiu yang digunakan berasal dari produk lokal tanpa uji kelayakan. Ahli gizi dinilai teledor dalam memilih menu, sehingga standar keamanan pangan tidak terpenuhi.
Gejala keracunan yang muncul, korban mengalami muntah, demam, dan sakit perut. Sebagian besar siswa pulih, namun beberapa masih dirawat di rumah sakit.
**
Tata kelola MBG (Makan Bergizi dan Gratis) semestinya melibatkan sekolah sebagai garda terdepan, namun dalam praktiknya, banyak sekolah justru tidak dilibatkan secara menyeluruh.Â
Masalah tata kelola MBG yang terjadi, adalah:
1. Sekolah tidak dilibatkan dalam perencanaan menu
Menu ditentukan oleh tim eksternal (dinas atau vendor), tanpa mempertimbangkan kondisi lokal, preferensi siswa, atau masukan guru.
Akibatnya, muncul menu yang tidak sesuai usia anak atau tidak lazim dikonsumsi, seperti ikan hiu.
2. Proses pengadaan dan distribusi tidak transparan
Sekolah hanya menerima makanan jadi, tanpa tahu asal bahan, cara pengolahan, atau standar kebersihannya.
Ini membuka celah risiko keracunan dan pelanggaran keamanan pangan.
3. Minimnya pelatihan dan komunikasi lintas pihak
Guru, kepala sekolah, dan petugas kantin tidak diberi pelatihan soal gizi, keamanan pangan, atau pelaporan insiden.
Padahal mereka yang paling dekat dengan siswa dan bisa mendeteksi masalah lebih awal.
4. Tidak ada mekanisme evaluasi partisipatif
Keluhan dari siswa atau guru jarang ditindaklanjuti. Tidak ada forum rutin untuk menilai kualitas makanan atau dampaknya terhadap kesehatan anak.
**
Saran perbaikan Tata Kelola MBG supaya keracunan MBG tidak berulang dan terus berulang, yang membahayakan kesehatan siswa dan guru, maka:
- Libatkan sekolah sejak tahap perencanaan menu: Guru dan kepala sekolah bisa memberi masukan soal preferensi lokal, alergi, dan kebiasaan makan anak.
- Pelatihan rutin bagi petugas sekolah: termasuk pelatihan deteksi gejala keracunan, pelaporan insiden, dan edukasi gizi.
- Forum evaluasi bulanan: Libatkan siswa, guru, dan orang tua untuk menilai kualitas makanan dan memberi masukan.
Seharusnya menu MBG yang sehat dan layak konsumsi mengandung sumber protein yang aman dan terjangkau, seperti: telur rebus atau dadar, tahu dan tempe, ikan air tawar seperti lele, nila, atau mujair, ayam bagian dada tanpa kulit. Protein penting untuk pertumbuhan otot dan perkembangan otak anak.
Mengandung karbohidrat kompleks, terdiri: nasi putih atau nasi merah, ubi kukus atau singkong, jagung rebus. Memberi energi tahan lama dan mencegah rasa lapar berlebihan.
Sayuran segar dan matang seperti: bayam, kangkung, wortel, atau labu. Tumis ringan atau sayur bening, mengandung serat, vitamin, dan mineral penting untuk metabolisme. Buah lokal sebagai pencuci mulut seperti: pisang, pepaya, semangka, atau jeruk, membantu pencernaan dan menambah asupan vitamin C.
Terakhir ditambah minuman sehat, berupa air putih (mineral), susu UHT atau susu kedelai tanpa pemanis berlebih, hindari minuman berpemanis buatan atau bersoda.
**
Sampai hari ini, perseptember 2025 kasus keracunan MBG menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berjumlah 5.360 korban.Â
Kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi pengingat penting bahwa niat baik harus diiringi dengan pengawasan ketat dan tanggung jawab menyeluruh. Di tengah harapan akan gizi yang merata bagi pelajar Indonesia, muncul tuntutan agar kualitas, keamanan, dan transparansi menjadi prioritas utama.
Pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat kini dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: bagaimana memastikan bahwa setiap makanan yang masuk ke sekolah adalah sumber kesehatan, bukan ancaman? Evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistemik menjadi langkah tak terelakkan.
Karena di balik setiap kotak makan siang, ada harapan orang tua, semangat anak-anak, dan masa depan bangsa. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI