Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Perajut kata-kata, Mboten Angel

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Pengalaman Menulis Skripsi Penuh Drama Korea

23 September 2025   17:58 Diperbarui: 24 September 2025   15:43 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pengalaman Menulis Skripsi Penuh Drama diolah menggunakan Canva untuk Kompasiana | Dokumen Pribadi

Skripsi adalah karangan ilmiah yang disusun oleh mahasiswa sebagai tugas akhir, dibimbing oleh dosen pembimbing, dan dipertahankan di hadapan penguji sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

**

Saat menyusun skripsi, saya dibimbing oleh dua orang dosen dari program studi yang berbeda dalam mengajar, tetapi masih dalam satu rumpun ilmu pendidikan. Pada saat pendadaran, skripsi saya diuji tiga orang dosen sebagai tim penguji.

Dalam setiap lembar skripsi, tersimpan latihan berpikir jernih, menggali makna, dan menyusun argumen secara ilmiah—sebuah proses pendewasaan intelektual. Menulis skripsi adalah perjalanan sunyi yang menguatkan nalar, membentuk ketekunan, dan menumbuhkan rasa hormat pada ilmu.

Saat menyusun skripsi, saya belum mampu mengetik menggunakan komputer tabung yang tersedia di rental komputer pada masa itu. Sementara itu, penggunaan laptop masih tergolong langka dan hanya dimiliki oleh kalangan yang mampu. 

Pada saat nenyusun skripsi sekitar tahun 2011, saya belum bisa mengetik sendiri dan memilih menggunakan jasa pengetikan di rental komputer, yang biayanya dihitung per lembar—sekitar Rp800 per lembar. Jika terdapat kesalahan pada satu atau dua halaman yang dicoret oleh dosen pembimbing dan harus diperbaiki, maka perubahan tersebut dapat mempengaruhi keseluruhan isi skripsi. 

Akibatnya, bukan hanya satu atau dua lembar yang diketik ulang, melainkan seluruh halaman bisa berubah dan harus dicetak kembali. Hal ini tentu berdampak pada biaya pengetikan dan pencetakan yang terus bertambah. Apalagi jika file yang disimpan terkena virus, rasanya seperti ingin menangis sejadi-jadinya.

**

Setiap orang memiliki pengalaman tersendiri dalam proses menyelesaikan skripsi. Ada yang menjalani dengan mudah, tanpa banyak hambatan—cukup dua hingga tiga kali perbaikan, lalu diajukan, mengikuti pendadaran, dinyatakan lulus, dan akhirnya dapat mengikuti yudisium serta wisuda.

Berbeda dengan saya, yang melakukan revisi skripsi hingga sepuluh kali—seakan tidak ada benarnya—sampai saya kebingungan sendiri mengikuti kemauan salah satu dosen pembimbing yang termasuk kategori "dosen killer" di kampus.

Saya bahkan mengalami plot twist sebanyak dua kali—sesuatu yang tidak wajar dan membuat saya nyaris menyerah dalam menyusun skripsi. Sampai di satu titik, saya pasrah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi penyusunan skripsi tersebut, dengan risiko dinyatakan tidak lulus menempuh pendidikan strata satu. 

Bagaimana lagi, selain dicoret berulang-ulang, diketik ulang  di rental komputer berkali-kali, biaya revisi pun menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi setiap konsultasi skripsi, dosen pembimbing terkesan ogah-ogahan dan kerap marah-marah, membuat proses bimbingan terasa semakin berat.

Yang membuat saya patah arang adalah ketika teman-teman satu angkatan sudah mengikuti wisuda, sementara saya masih terhambat karena dosen pembimbing yang dikenal sebagai "dosen killer" dan tampak tidak peduli apakah saya bisa wisuda atau tidak.

Hingga akhirnya, pada bulan Ramadan, tepat saat sahur, ketua jurusan menelpon saya dan meminta agar saya melanjutkan skripsi tersebut. Beliau juga menyarankan agar saya menyampaikan kepada dosen pembimbing untuk menyetujui keikutsertaan dalam pendadaran, dengan persetujuan dari ketua jurusan.

**

Penyusunan skripsi yang saya alami bagaikan drama korea—penuh lika-liku—karena seorang dosen pembimbing yang tidak peduli terhadap mahasiswa bimbingannya. Bahkan saat pendadaran pun, beliau masih marah-marah dan memukulkan tangannya dengan keras ke meja ketika mendengar jawaban saya yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Saya hanya diam, tanpa memberikan komentar apa pun. Mungkin, jika saya menjawab, saya bisa saja langsung dinyatakan tidak lulus olehnya.

Menulis skripsi bukan sekadar menyusun kata dan data, melainkan perjalanan emosional yang penuh lika-liku—bagaikan drama korea. Ada revisi yang tak kunjung selesai, bimbingan yang terasa menegangkan, hingga momen pasrah yang nyaris membuat langkah terhenti.

Namun, di balik semua itu, tersimpan keteguhan hati, kesabaran, dan harapan yang perlahan tumbuh. Meski jalan yang ditempuh tidak mudah, pengalaman ini menjadi bukti bahwa perjuangan, sekecil apa pun, layak dihargai. Skripsi bukan hanya syarat kelulusan, tetapi juga cermin dari proses pendewasaan diri. 

Kepada pembaca Kompasianer budiman, saya sangat terbuka menerima tanggapan, cerita serupa, atau pandangan Anda tentang proses skripsi yang pernah dijalani. Mari kita saling menguatkan dan belajar dari perjalanan masing-masing. Salam Kimpasianer! Jangan lupa memberikan komentar. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun