Mohon tunggu...
Otto von Bismarck
Otto von Bismarck Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Mantan Kanselir Jerman .... Uber Alles ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Efek Kampanye "Offline", Korupsi Menjamur

11 Maret 2018   15:25 Diperbarui: 11 Maret 2018   15:45 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kaskus.id

Tahun ini adalah tahun politik karena ada 171 daerah serentak mengadakan Pilkada tanggal 27 Juni 2018, dimana daerah pemilihan Jabar , Jateng dan Jatim akan menjadi perhatian publik, karena ini adalah awal suara pemilih untuk pemenangan Pilpres 2019.

Para kontestan Pilpres 2019 akan menjadikan 3 daerah tersebut sebagai basis mendulang suara, jika 3 daerah tersebut dikuasai 40% saja maka Pilpres akan direbut. Untuk itu semua partai mengerahkan segenap kekuatan agar bisa mendulang suara terbesar di daerah tersebut.

Saya tidak akan membahas masalah siapa pemenang pilkada/pilpres tapi lebih kepada biaya kampanye masing masing pasangan calon.

Kita ketahui bahwa biaya kampanye sangat besar, paling tidak daerah Kabupaten/Kota yang pendapatan PAD dibawah 200M per tahun, setiap Paslon akan mengeluarkan biaya paling sedikit 10/15M.

Pertanyaan selanjutnya dari mana biaya tersebut berasal?? ... kita sudah makfum bahwa biaya itu sebagian kecil diambil dari kantong pribadi Paslon, karena hampir sebagian Paslon  tidak ada kemampuan untuk membiayai Kampanye penuh dan bagaimana peran dari partai pendukung. Justru partai pendukung akan mendapatkan uang dari Paslon, seperti kasus 40M (uang mahar) yang banyak viral di media massa online.

Biaya Kampanye Offline yang saat ini dilakukan akan banyak menyedot biaya yang sangat besar, seperti biaya spanduk/baliho, kaos, kampanye offline di lapangan dll.

Karena besarnya biaya kampanye offline, mengakibatkan para paslon mencari dana tambahan dari pihak lain selain dari dana pribadi, itu realita yang tidak terbantahkan.

Pada tahun pertama menjadi pemimpin maka pemimpin itu akan konsolidasi kepada para pendukung agar uang yang sudah ditanamkan aman untuk dikembalikan, pada tahun kedua hingga ke empat maka pemimpin itu akan mencicil biaya kampanye yang telah dikeluarkan dan tahun terakhir (5) maka akan menjadi paslon kembali dan berfikir lagi mencari dana kampanye, kapan akan mengabdi untuk masyarakat??? ....

Jika seorang paslon mengeluarkan biaya Rp. 10M, maka dalam 3 tahun harus kembali modal, jika kita hitung berapa biaya perbulan yang harus dicicil ???.. Coba kita hitung 3 tahun = 36 bulan , maka 10M dibagi 36 bulan menjadi Rp. 278 juta per bulan. Kita ketahui berapa besar gaji seorng pemimpin dalam sebulan?.... tidak akan lebih dari 100jt ditambah pendapatan lain2 resmi maksimal 200jt, belum dipotong sebagai kader partai dan kemana selisih itu akan ditutupi??? ... silahkan anda pikir sendiri.

Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya. (sumber kompas.com 19/09/2017).

Besarnya angka yang berurusan dengan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), ini efek dari kampanye offline, mengapa kita tidak melakukan kampanye online yang lebih murah dan effektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun