Mohon tunggu...
Muhammad Biondy Ramadhana
Muhammad Biondy Ramadhana Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Ilmu Komunikasi UMY'18

Bismillah :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Periklanan Bukan Permainan

18 April 2020   15:09 Diperbarui: 20 April 2020   21:26 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era global sekarang ini persaingan di industri media terjadi sangat ketat bukan saja dengan media massa sejenis tapi juga berlangsung antara media yang berbeda jenis. Kompetisi bukan hanya memperebutkan "kue" iklan semata juga memperebutkan khalayak sasaran media dan kompetisi di bidang kontek atau isi program media. Ketatnya persaingan media merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi para pengelola media. Pengelola perlu berpikir keras dalam membuat strategi dalam persaingan ini.

Iklan pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi gagasan atau ide kepada sekelompok orang atau individu melalui suatu media. Iklan didefinisikan sebagai suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasive (Widyatama, 2007).

Media massa memiliki peran besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi nilai tanda. Televisi selain sebagai salah satu media elektronik yang  memiliki kemampuan dalam menjangkau khalayak luas juga memiliki fungsi lain yakni fungsi konstruksi. Televisi juga dapat menawarkan definisi tertentu mengenai kehidupan manusia (Mulyana, 2007). Dapat disimpulkan bahwa iklan televisi memiliki kemampuan dalam menciptakan sebuah persepsi manusia akan realitas.

Periklanan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai informasi yang kuat. Misalnya tentang tempat pariwisata dan harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsur persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang  pakaian bermerek dan rumah (Bertens, 2000).

Penggunaan iklan televisi khusunya sebagai sarana promosi dapat memberikan dampak emosional yang kuat bagi audiensnya. Hal tersebut dikarenakan panduan gambar, suara, warna,  gerak dan drama yang dimiliki iklan televisi dapat menciptakan respons emosional dibanding media lain (Moriarty, 2009). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan iklan pada media televisi juga merupakan cara berpromosi yang paling efektif dalam menjangkau khalayak luas dan dapat digunakan untuk menciptakan citra dan daya tarik simbolis bagi suatu perusahaan atau merek.

Hampir 90% masyarakat Indonesia memiliki media televisi. Bahkan di kota atau di daerah tertentu tidak hanya 1 televisi dalam satu rumah, namun bisa lebih dari itu. Peran media televisi sebagai media audiovisual masih sangat kuat dibanding media yang lain. Dengan beragam tayangan media televisi dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatif inilah yang menjadikan orang tua mulai cemas ketika orang tua disibukkan dengan kegiatan lain.

Pada era sekarang iklan di televisi telah banyak mengalami perubahan. Dengan kemajuan teknologi media televisi, semakin memungkinkan dibuat iklan yang lebih atraktif dan menarik. Iklan tidak bisa lepas dari etika, karena iklan harus menyatakan kebenaran dan kejujuran. Masih banyak pengiklan yang mengabaikan norma-norma dan lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan tertentu dalam membuat iklan. Untuk itu, harus ada pengontrolan yang tepat untuk menghi ndari terjadinya iklan yang mengorbankan nilai etika dan moral.

Konsumen adalah pihak yang berhak mengetahui kebenaran sebuah produk, iklan yang membuat pernyataan yang menyebabkan mereka salah menarik kesimpulan tentang produk itu dianggap menipu dan dikutuk secara moral kendati tidak ada maksud memperdaya. Secara tertulis EPI mengatur pemilihan bahasa yang dimaksudkan untuk menipu konsumen tetapi EPI tidak secara mutlak melarang menggunkan kata superlatif sepanjang keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dan dengan sumber autentik (Junaedi, 2019:130).

Kekeliruan itu sesungguhnya sudah terkandung dalam iklan. Maka, secara tidak langsung sebenarnya sudah ada niat terselubung dan samar-samar dari pihak pengiklan dan produsen untuk memperdaya konsumen, paling kurang dengan membuat iklan yang dapat ditafsirkan secara keliru. EPI menyatakan dalam Pasal 1.2.1 bahwa iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut (Junaedi, 2019:131).

                                                                                                                                                                                                                          

untitled-1-5e9b0c07097f3666015052b3.jpg
untitled-1-5e9b0c07097f3666015052b3.jpg
                                                                                                                       Gambar 1.1 Iklan “Game Hago”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun