Mohon tunggu...
bintang harmiansyah
bintang harmiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Mulawarman

Memiliki kegemaran dalam membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KOLABORASI DALAM PELAYANAN PUBLIK: Analisis Mall Pelayanan Publik Kota Samarinda Melalui Perspektif Manajemen Jejaring

12 Oktober 2025   08:55 Diperbarui: 12 Oktober 2025   08:55 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perubahan paradigma pemerintahan dari sistem birokratis menuju tata kelola yang kolaboratif telah membawa dampak besar terhadap praktik pelayanan publik di Indonesia. Dalam era modern, pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya aktor yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melainkan harus bekerja bersama dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah lain, sektor swasta, maupun masyarakat sipil. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi penting dalam menghadapi kompleksitas kebutuhan publik yang semakin beragam dan menuntut layanan yang cepat, transparan, serta efisien (Sedana et al. 2025). Oleh karena itu, konsep kolaborasi dalam pelayanan publik dapat dipahami melalui pendekatan manajemen jejaring, dimana keberhasilan suatu layanan sangat ditentukan oleh sejauh mana para aktor yang terlibat dapat berkoordinasi, bertukar sumber daya, dan membangun kepercayaan untuk mencapai tujuan bersama.

Salah satu contoh konkret penerapan kolaborasi lintas instansi di Indonesia adalah kehadiran Mall Pelayanan Publik (MPP), sebuah inovasi pelayanan terpadu yang mengintegrasikan berbagai jenis layanan dalam satu lokasi (Mahendra, R. R., & Adnan, M., 2025). Kota Samarinda merupakan salah satu daerah yang telah mengimplementasikan program ini dengan tujuan untuk mendekatkan layanan publik kepada masyarakat serta meningkatkan efisiensi birokrasi. Dalam melaksanakan tugasnya, MPP Samarinda melibatkan berbagai instansi, baik dari pemerintah daerah, hingga perbankan dan perusahaan layanan publik. Dibalik keberhasilan MPP Samarinda dalam menyediakan kemudahan bagi masyarakat, terdapat dinamika kolaborasi yang menarik untuk dikaji lebih dalam menggunakan konsep-konsep dengan perspektif manajemen jejaring. 

Kolaborasi dalam pelayanan publik pada dasarnya merupakan pergeseran bentuk organisasi pemerintah dari struktur yang hirarkis menuju sistem yang berbentuk jejaring. Dalam konsep jejaring organisasi, bentuk jejaring hubungan antar instansi tidak lagi bersifat vertikal antara atasan dan bawahan, tetapi horizontal dan saling bergantung satu sama lain. Mall Pelayanan Publik Kota Samarinda mencerminkan bentuk jejaring horizontal ini. Di dalamnya, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) berperan sebagai koordinator yang menghubungkan berbagai instansi didalamnya yang berjumlah 33 instansi seperti Disdukcapil, Imigrasi, BPJS, Samsat, dan lembaga keuangan seperti Bank Kaltimtara (Mall Pelayanan Publik Samarinda, 2022).  Masing-masing instansi memiliki otoritas dan sumber daya sendiri, tetapi saling berinteraksi dalam satu ekosistem pelayanan. Hubungan antarinstansi ini tidak berjalan secara hierarkis, melainkan didasarkan pada saling ketergantungan, di mana keberhasilan satu pihak bergantung pada kinerja pihak lainnya. Bentuk jejaring ini memperlihatkan bahwa tata kelola pelayanan publik di Samarinda telah bergerak ke arah sistem yang lebih kolaboratif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu, MPP Samarinda juga memiliki bentuk jejaring formal, didalamnya terdapat perjanjian kerjasama atau MOU yang dilakukan sehingga mampu mendorong percepatan pemenuhan pelayanan publik secara efektif dan efisien (JDIH Kota Samarinda, 2023).

Dalam konsep good governance, kolaborasi di MPP Samarinda menjadi sarana untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif, independen, dan setara (Hidayah, L. A., 2023). Transparansi di MPP Samarinda, dapat dilihat dari setiap layanan di instansi yang tergabung menampilkan secara jelas persyaratan, biaya, alur proses, dan estimasi waktu penyelesaian. Informasi tersebut tersedia baik dalam bentuk papan informasi di setiap loket maupun melalui sistem digital seperti website dan layar informasi elektronik. Keterbukaan ini meminimalkan potensi praktik tidak etis, seperti pungutan liar, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. Akuntabilitasnya terlihat dari adanya mekanisme pertanggungjawaban yang jelas terhadap hasil kerja dan kualitas layanan. MPP Samarinda menerapkan sistem penilaian kinerja pegawai dan unit layanan secara berkala. Masyarakat juga diberi ruang untuk memberikan evaluasi melalui survei kepuasan atau kotak saran digital. Hasil penilaian ini dijadikan dasar untuk perbaikan dan inovasi layanan berikutnya. Dengan demikian, setiap instansi di MPP tidak hanya dituntut memberikan pelayanan cepat, tetapi juga dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakannya kepada publik.

Selanjutnya, responsivitas tercermin dari kemampuan MPP menanggapi kebutuhan dan keluhan masyarakat secara cepat dan tepat. Petugas front office dilatih untuk memberikan solusi yang efektif terhadap permasalahan pemohon. Selain itu, adanya sistem antrean digital, ruang konsultasi terpadu, dan kanal pengaduan online menjadi wujud nyata kesigapan MPP dalam merespons dinamika kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Pendekatan pelayanan ini menunjukkan orientasi MPP yang tidak sekadar administratif, tetapi juga berempati terhadap pengalaman pengguna layanan. Prinsip independensi diimplementasikan melalui profesionalisme aparatur yang bebas dari intervensi politik maupun kepentingan pribadi. Petugas di MPP Samarinda bekerja berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan bersama antar instansi. Hal ini memastikan bahwa setiap keputusan atau tindakan pelayanan dilakukan secara objektif dan adil, bukan karena tekanan dari pihak tertentu. Independensi ini penting untuk menjaga integritas lembaga dan memastikan pelayanan diberikan semata-mata demi kepentingan publik. Dan yang terakhir adalah prinsip kesetaraan yang diwujudkan dalam pemberian layanan yang tidak diskriminatif. MPP Samarinda memberikan akses yang sama kepada seluruh warga tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, gender, maupun asal daerah. Fasilitas ramah disabilitas juga disediakan, seperti jalur kursi roda, lift, dan ruang tunggu yang inklusif. Pendekatan ini memperlihatkan komitmen pemerintah kota terhadap pelayanan publik yang adil dan berkeadilan sosial (Mal Pelayanan Publik Samarinda, 2025).

Konsep governance dalam hubungan kontraktual juga menjadi landasan penting dalam pengelolaan jejaring kolaboratif di MPP. Sesuai dengan Peraturan Walikota Kota Samarinda Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik, hubungan antar instansi diatur melalui perjanjian kerjasama yang menjadi bentuk kontrak formal antara pihak-pihak yang terlibat. Dokumen tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam membagi tanggung jawab, hak, serta kewajiban masing-masing aktor. Dalam praktiknya, hubungan kontraktual ini menjadi alat koordinasi utama untuk menjaga keteraturan hubungan antar instansi, seperti Imigrasi dan BPJS. Namun, pendekatan kontraktual ini sering kali hanya bersifat administratif dan belum menjangkau aspek substansial dari kolaborasi, seperti pembagian risiko, pertukaran data secara real time, dan pengambilan keputusan bersama. Keterbatasan ini mengindikasikan bahwa hubungan kontraktual dalam jejaring pelayanan publik perlu ditingkatkan dari sekadar formalitas birokratis menjadi bentuk kemitraan yang lebih dinamis dan berbasis kepercayaan.

Sementara itu, konsep governance network menjelaskan bagaimana MPP Samarinda menjadi tempat bagi berbagai instansi untuk berinteraksi dan bernegosiasi dalam mencapai tujuan pelayanan publik. Dalam governance network, pemerintah berperan bukan sebagai pengendali tunggal, tetapi sebagai fasilitator yang mengatur hubungan antar aktor agar tetap sejalan. MPP menjadi contoh nyata bagaimana pemerintah daerah berfungsi sebagai penghubung antara berbagai lembaga yang sebelumnya bekerja secara terpisah. Namun, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa hubungan dalam jejaring ini belum sepenuhnya simetris. Pemerintah daerah masih memiliki posisi dominan dalam pengambilan keputusan, sementara instansi lain sering kali hanya menjadi pelaksana teknis. Akibatnya, ruang partisipasi setara antar aktor belum terwujud secara optimal. Padahal, inti dari governance network adalah adanya kesetaraan dalam proses negosiasi dan kolaborasi antar aktor yang berbeda kepentingan (Ariyanti et al. 2024).

Kolaborasi dalam MPP Samarinda juga menggambarkan adanya konsep kompleksitas strategis dalam manajemen jejaring. Kompleksitas ini muncul karena setiap aktor membawa kepentingan, sistem kerja, dan sumber daya yang berbeda (Zuhdi, S., & Saputra, T. 2025). Pemerintah daerah berfokus pada pelayanan masyarakat dan kinerja administratif, sementara lembaga seperti BPJS atau Imigrasi terikat pada regulasi nasional dan sistem internal mereka sendiri.Perbedaan orientasi ini menimbulkan tantangan strategis dalam menciptakan sinergi yang berkelanjutan. Pengelolaan kompleksitas tersebut menuntut kemampuan pemerintah daerah untuk menjadi mediator, penyelaras, sekaligus inovator yang mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik kewenangan. Kompleksitas juga muncul dalam aspek teknologis, di mana integrasi sistem digital antar instansi belum seragam, sehingga menghambat aliran data dan informasi yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan terpadu (Ramadhany et al. 2025).

Kolaborasi dalam pelayanan publik merupakan manifestasi dari perubahan paradigma pemerintahan menuju sistem yang lebih partisipatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Studi kasus Mall Pelayanan Publik Kota Samarinda memperlihatkan bagaimana kolaborasi lintas instansi diatur dalam bentuk jejaring yang kompleks, namun saling bergantung untuk mewujudkan layanan publik yang efisien. Melalui penerapan prinsip-prinsip good governance, hubungan kontraktual yang jelas, serta pengelolaan governance network yang efektif, MPP menjadi wujud konkret transformasi birokrasi menuju tata kelola yang lebih modern. Akan tetapi, di balik keberhasilan tersebut, masih terdapat tantangan yang perlu diatasi, seperti lemahnya integrasi sistem informasi, dominasi aktor tertentu, dan belum terbangunnya kepercayaan yang kuat antarinstansi. Kompleksitas strategis ini menuntut kemampuan pemerintah daerah untuk terus berinovasi dalam mengelola jejaring kolaboratif secara adaptif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, kolaborasi yang efektif dalam pelayanan publik bukan hanya tentang menggabungkan instansi dalam satu ruang fisik, tetapi tentang menciptakan pelayanan yang berlandaskan kepercayaan, komunikasi terbuka, dan komitmen bersama. Mall Pelayanan Publik Kota Samarinda menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor dapat menjadi solusi terhadap birokrasi yang lamban, asalkan dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen jejaring yang kuat dan visi bersama yang berorientasi pada kepentingan publik. Dengan penguatan tata kelola jejaring dan penerapan prinsip good governance secara konsisten, pelayanan publik di Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi lebih inklusif, transparan, dan berkelanjutan di masa mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun