Dalam acara bertemakan "JEF Dialogue: Unlocking Jakarta's Potential Through Tourism and Creative Economy" di Jakarta, Selasa (24/9/2025), Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, Andhika Permata, menyampaikan data yang mengejutkan.
Dilansir dari CNN Indonesia, sepanjang tahun 2024, pergerakan wisatawan di Jakarta mencapai belasan juta, dengan Jakarta Selatan mencatat rekor tertinggi 25,1 juta perjalanan, disusul Jakarta Pusat 17,5 juta, Jakarta Timur 14,5 juta, Jakarta Utara 13,2 juta, Jakarta Barat 13 juta, dan Kepulauan Seribu 182 ribu.
Akan tetapi, di balik angka fantastis tersebut, sebetulnya tersimpan paradoks yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS tahun 2024, rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara di Jakarta hanya dua hari, sementara wisatawan nusantara, bahkan lebih singkat lagi, yakni 1,53 hari.
Andhika mengakui dengan jujur, meskipun data perjalanan memang tinggi, lama tinggal wisatawan di Jakarta masih tergolong rendah. Meski pemerintah daerah gencar melakukan promosi wisata di dalam dan luar negeri, serta menguatkan kampanye digital, usaha tersebut belum cukup membuat wisatawan betah berlama-lama di ibu kota.
Dalam forum yang sama, konten kreator pariwisata Kadek Arini memberikan perspektif komparatif dengan mencontohkan pengalamannya berlibur di Tokyo, Jepang. Begitu tiba di bandara Haneda atau Narita, wisatawan langsung disambut pusat informasi yang memandu dengan mudah.
Selain akses transportasi yang sangat bagus, keramahan masyarakat, kuliner beragam, dan banyaknya ruang publik gratis membuat wisatawan betah berlama-lama, meskipun tiket pesawat dan hotel di Tokyo jauh lebih mahal dari Jakarta.
Tingginya kunjungan tak berbanding lurus dengan dampak ekonomi
Paradoks antara tingginya jumlah kunjungan dan rendahnya durasi tinggal menciptakan masalah serius bagi ekonomi pariwisata Jakarta.
Durasi tinggal yang singkat berarti pengeluaran wisatawan juga terbatas. Wisatawan yang hanya tinggal 1 hingga 2 hari cenderung hanya menginap satu malam, makan beberapa kali, dan mengunjungi satu atau dua destinasi.
Potensi ekonomi dari sektor akomodasi, kuliner, transportasi, hiburan, dan belanja tidak teroptimalkan dengan baik. Padahal, sektor pariwisata, seharusnya menjadi efek pengganda yang signifikan bagi perekonomian daerah.
Mobile positioning Data mencatat pergerakan wisatawan dengan durasi kunjungan minimal enam jam menunjukkan, mayoritas wisatawan datang ke Jakarta hanya sebagai gerbang menuju destinasi lain, bukan sebagai destinasi final yang menarik untuk dieksplorasi lebih dalam.