Perluasan perkotaan di Jakarta telah mengubah lanskap ibu kota menjadi pusat beton, mengorbankan habitat alami dan keanekaragaman hayati vertebrata darat.
Urbanisasi yang pesat, ditandai dengan pembangunan perumahan, pusat perniagaan, dan infrastruktur, telah memicu hilangnya ruang terbuka hijau (RTH), fragmentasi ekosistem, dan penurunan populasi spesies asli.
Dengan RTH hanya mencapai 9,8% dari luas kota pada 2019, jauh di bawah standar ideal 30%, Jakarta menghadapi krisis biodiversitas yang mengancam vertebrata darat seperti mamalia, burung, dan reptil (WRI Indonesia, 2021).
Tulisan ini hendak menegaskan bahwa urbanisasi Jakarta telah mempercepat hilangnya habitat dan penurunan biodiversitas, namun solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS) menawarkan harapan untuk me-mitigasi dampak ini.
Tiga aspek utama yang dibahas di sini ialah: hilangnya habitat akibat perluasan perkotaan, penurunan biodiversitas vertebrata darat, dan solusi berbasis alam untuk konservasi.
Hilangnya Habitat akibat Perluasan Perkotaan
Perluasan perkotaan di Jakarta telah menyebabkan hilangnya habitat alami yang kritis bagi vertebrata darat, ini tidak bisa dipungkiri.
Pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, mal, perumahan elit, dan kawasan komersial di wilayah seperti Kelapa Gading, Sunter, dan Pantai Indah Kapuk, telah mengkonversi hutan kota, rawa, dan mangrove menjadi lahan beton (Mongabay, 2020).
Data menunjukkan bahwa antara tahun 1985 dan 2006, 3.925 hektar wilayah resapan air dan RTH di Jakarta dialihfungsikan, menghilangkan habitat penting bagi spesies asli (Mongabay, 2020).
Sungai Ciliwung, yang dulunya mendukung ekosistem perairan untuk spesies seperti berang-berang kecil (Aonyx cinerea), kini tercemar oleh limbah domestik dan industri, dengan ribuan ton sampah plastik mengalir ke Teluk Jakarta setiap tahun (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 2025).
Fragmentasi habitat menjadi dampak utama urbanisasi, tentu saja.