Mohon tunggu...
bilal hafizd
bilal hafizd Mohon Tunggu... Pegawai swasta

43120010419 - S1 manajemen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Repleksi Kritis Pendidikan Anti korupsi Di Indonesia

8 Juli 2025   09:11 Diperbarui: 8 Juli 2025   09:11 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Model Paideia Anti-Korupsi Berbasis Filsafat Platon: Bagian II -- Thumos (Semangat Moral / Kehormatan / Harga Diri)
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil bila hanya mengandalkan regulasi hukum dan penegakan administratif. Pemberantasan korupsi memerlukan perubahan batiniah, pembentukan karakter, dan penguatan nilai integritas dalam jiwa manusia. Dalam hal ini, filsafat Platon melalui Republik dan Phaedrus menawarkan fondasi yang kuat, yakni pendidikan jiwa melalui pengembangan tiga unsur: Logos (rasio), Thumos (semangat moral), dan Epithumia (nafsu).
Jika Logos bertanggung jawab mengarahkan manusia dengan nalar, maka Thumos adalah kekuatan emosional yang menjadi sumber keberanian, harga diri, dan semangat keadilan. Dalam kerangka pendidikan anti-korupsi, Thumos berfungsi sebagai energi pendorong untuk menolak perilaku menyimpang, merasa malu atas ketidakjujuran, serta bangga dalam menegakkan kebenaran. Tulisan ini membahas secara komprehensif fungsi Thumos, peranannya dalam pendidikan anti-korupsi, serta strategi pembelajaran yang relevan untuk membangkitkannya.

1. Thumos dalam Struktur Jiwa Menurut Platon
Dalam teori jiwa Platon, Thumos adalah unsur antara Logos dan Epithumia. Ia bukan akal, tapi bukan juga nafsu. Thumos merupakan wilayah kehendak yang bersifat emosional, namun bukan emosionalitas yang buta. Ia adalah rasa hormat terhadap nilai, dorongan terhadap keadilan, keberanian untuk menentang ketidakadilan, serta rasa bangga bila berbuat benar. Platon menjelaskan bahwa Thumos adalah bagian jiwa yang "marah demi kebaikan," dan tanpanya, manusia akan menjadi pasif, penakut, atau apatis terhadap keburukan.
Berbeda dengan Epithumia yang mendorong manusia untuk mencari kenikmatan, Thumos mendorong manusia untuk mencari kehormatan. Inilah sumber etos perjuangan, semangat pengabdian, dan motivasi untuk mempertahankan kebaikan. Dalam kerangka masyarakat, Thumos menciptakan warga negara yang peduli, berani, dan tidak mudah dibeli oleh kekuasaan maupun uang.

2. Fungsi Thumos dalam Pendidikan Anti-Korupsi
Korupsi sering kali terjadi bukan hanya karena kurangnya pengetahuan (Logos) atau dominasi nafsu (Epithumia), tetapi juga karena lemahnya semangat moral dan hilangnya rasa malu. Dalam kondisi tersebut, Thumos menjadi unsur jiwa yang sangat penting. Fungsi utamanya dalam pendidikan anti-korupsi dapat dirinci sebagai berikut:
*Sumber Keberanian Moral: Thumos membekali individu dengan keberanian untuk berkata tidak terhadap tekanan, suap, dan gratifikasi. Seorang ASN yang memiliki semangat moral tidak akan mudah tergoda karena ia menjunjung harga diri.
*Pendorong Rasa Malu dan Kehormatan: Seseorang yang memiliki harga diri akan merasa malu bila ia melakukan perbuatan curang. Rasa malu ini bukan akibat tekanan sosial, tetapi kesadaran batin bahwa integritas adalah bagian dari jati dirinya.
*Semangat Menolak Ketidakadilan: Thumos adalah sumber energi emosional yang mendorong individu melawan ketimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kebohongan dalam struktur sosial.
*Bangga terhadap Kejujuran: Pendidikan antikorupsi yang berhasil tidak hanya membuat individu menghindari korupsi karena takut hukum, tapi karena merasa bangga menjadi pribadi jujur. Thumos menumbuhkan kebanggaan itu.

3. Strategi Pendidikan untuk Membentuk Thumos
Menumbuhkan Thumos dalam pendidikan anti-korupsi bukan perkara teoritis belaka. Diperlukan pendekatan pembelajaran yang bersifat afektif, naratif, dan partisipatif. Strategi utamanya meliputi:
(a) Pemodelan Tokoh
Manusia belajar banyak dari teladan. Menampilkan tokoh-tokoh yang berani menolak korupsi, baik tokoh nasional maupun lokal, dapat menumbuhkan inspirasi moral. Misalnya, membahas kehidupan Baharuddin Lopa, tokoh jujur yang memilih mundur dari jabatan karena tekanan korupsi, atau tokoh-tokoh kecil seperti guru honorer yang menolak gratifikasi.
(b) Kampanye Sosial dan Gerakan Moral
Kampanye yang melibatkan siswa, mahasiswa, dan komunitas dalam bentuk poster, video pendek, diskusi publik, atau simulasi debat antikorupsi akan membangkitkan semangat moral. Kegiatan seperti lomba esai "Berani Jujur Hebat" atau "100 Alasan Menolak Suap" memberi ruang kepada Thumos untuk berkembang.
(c) Budaya Sekolah dan Perguruan Tinggi
Nilai-nilai kejujuran harus menjadi bagian dari budaya institusi, bukan hanya mata pelajaran. Sekolah dan kampus perlu memiliki regulasi anti-plagiarisme, sistem pelaporan pelanggaran etika, serta penegakan disiplin terhadap penyimpangan. Lingkungan yang memelihara Thumos akan menciptakan kebanggaan kolektif terhadap nilai-nilai baik.
(d) Aktivitas Kode Etik dan Kode Perilaku
Melibatkan siswa dan mahasiswa dalam menyusun sendiri kode etik anti-korupsi akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab. Proses menyusun kode etik bersama adalah pendidikan moral yang mengaktifkan Thumos, bukan karena paksaan, tapi karena kesadaran dan rasa hormat terhadap kebaikan.

4. Contoh Konkret Implementasi Thumos dalam Pendidikan
(1) Kode Etik Mahasiswa Anti Gratifikasi
Di salah satu kampus negeri di Jawa Tengah, mahasiswa program studi administrasi publik menyusun "Kode Etik Mahasiswa Anti Gratifikasi". Kode tersebut mengatur bahwa mahasiswa dilarang memberi bingkisan kepada dosen dalam bentuk apa pun saat ujian skripsi. Mereka juga sepakat menolak budaya 'amplop' saat praktik kerja lapangan. Langkah ini bukan diwajibkan, melainkan inisiatif moral yang lahir dari kesadaran bersama.
(2) Klub Debat Etika Sosial
Sebuah SMA di Bandung mendirikan Klub Debat Etika, di mana siswa berdiskusi tentang dilema moral: menerima hadiah dari klien, memalsukan laporan keuangan organisasi siswa, atau memberi jalan pintas dalam seleksi anggota OSIS. Dari sini, para siswa mulai menyadari pentingnya keberanian dan tanggung jawab pribadi.
(3) Simulasi Sidang Korupsi di Sekolah
Dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia, sebuah SMK di Surabaya mengadakan simulasi sidang kasus korupsi fiktif. Siswa berperan sebagai jaksa, terdakwa, hakim, dan saksi. Aktivitas ini menggugah rasa keadilan dan memunculkan kemarahan terhadap ketidakadilan---unsur khas Thumos yang positif.
(4) Proyek Narasi Tokoh Jujur Lokal
Mahasiswa di sebuah universitas Islam melakukan proyek menulis narasi tokoh jujur di kampung mereka: guru, kepala desa, atau pedagang yang dikenal karena integritas. Kegiatan ini memupuk rasa hormat terhadap nilai dan menanamkan kebanggaan terhadap kejujuran.
(5) Kampanye "Bangga Tidak Korup" di Komunitas
Komunitas pemuda di Makassar menggelar kampanye "Bangga Tidak Korup", dengan mural dan pertunjukan teater jalanan. Mereka tidak hanya menolak korupsi secara verbal, tetapi menunjukkan bahwa integritas adalah identitas yang patut dibanggakan.

5. Hambatan dalam Pembentukan Thumos dan Cara Mengatasinya
Pembentukan Thumos tidak mudah karena banyak nilai dominan dalam masyarakat yang justru menekan semangat moral. Beberapa hambatan utama yang dihadapi antara lain:
*Budaya permisif terhadap korupsi kecil-kecilan: Masyarakat kadang menganggap gratifikasi kecil, sogokan ringan, atau pemalsuan laporan sebagai "bukan dosa besar".
*Minimnya keteladanan dari pemimpin publik: Jika pemimpin justru korup, semangat moral anak muda mudah padam.
*Penghargaan terhadap hasil, bukan proses: Sistem pendidikan yang hanya menilai hasil akademik tanpa memperhatikan integritas akan melemahkan Thumos.
Untuk mengatasinya:
1.Institusi pendidikan harus menjadi benteng nilai, bukan hanya tempat belajar.
2.Media dan influencer perlu dilibatkan untuk menormalkan kejujuran sebagai gaya hidup.
3.Diperlukan sistem reward sosial terhadap individu atau komunitas yang menunjukkan integritas tinggi.

6. Hubungan Logos dan Thumos dalam Paideia Anti-Korupsi
Dalam filsafat Platon, Thumos harus bekerja sama dengan Logos untuk mengendalikan Epithumia. Thumos yang tidak diarahkan oleh akal dapat menjadi fanatisme atau kemarahan yang tak berdasar. Namun, tanpa Thumos, Logos akan kering dan tak memiliki daya dorong. Oleh karena itu, pendidikan anti-korupsi harus mengembangkan keduanya: nalar yang jernih dan semangat moral yang kuat.
Jika Logos bertugas menjelaskan mengapa korupsi salah, maka Thumos membuat seseorang merasa marah terhadap ketidakadilan dan bangga atas kejujuran. Kombinasi keduanya membentuk pribadi tangguh yang mampu berdiri teguh di tengah godaan duniawi.

https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/1
https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/1

Model Platon Paideia Anti-Korupsi Bagi Mahasiswa: Pembentukan Karakter yang Menyeluruh
Korupsi tidak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh dari kebiasaan buruk yang tertoleransi, dari jiwa yang tidak tertata, serta dari pendidikan yang gagal membentuk watak. Dalam konteks pendidikan tinggi, mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin bangsa harus memperoleh pembentukan karakter yang menyeluruh, bukan sekadar transmisi pengetahuan. Salah satu pendekatan filosofis yang relevan adalah model Paideia dari Platon, filsuf Yunani yang memandang pendidikan bukan sekadar alat pencapaian profesional, melainkan sebagai proses menata jiwa.
Model Paideia Platon menekankan pembentukan struktur jiwa yang harmonis melalui tiga unsur utama: Logos (rasio), Thumos (semangat moral/keadilan), dan Epithumia (nafsu/keinginan). Pendidikan sejati bagi mahasiswa adalah pendidikan yang menajamkan akal, membangkitkan harga diri dan rasa adil, serta mendisiplinkan keinginan-keinginan yang membahayakan integritas diri. Tulisan ini mengulas secara komprehensif bagaimana model tersebut dapat dijadikan fondasi pendidikan anti-korupsi bagi mahasiswa Indonesia.

1. Mahasiswa dan Tanggung Jawab Etis di Era Krisis Moral
Mahasiswa bukan sekadar individu yang belajar di perguruan tinggi, tetapi calon intelektual dan pemegang estafet kepemimpinan bangsa. Dalam iklim sosial yang dipenuhi ketidakjujuran, manipulasi, dan komersialisasi nilai, mahasiswa memikul tanggung jawab etis yang besar. Mereka tidak boleh hanya menjadi konsumen pengetahuan, melainkan harus menjadi pemikir kritis dan pelaku transformasi moral. Di sinilah pendidikan berbasis Paideia menemukan urgensinya.
Platon percaya bahwa keadilan sosial hanya mungkin terwujud jika setiap jiwa manusia berada dalam tatanan yang baik: rasio memimpin, kehendak mendukung, dan nafsu tunduk. Sebaliknya, masyarakat menjadi rusak jika individu-individu di dalamnya tidak mampu mengatur dirinya sendiri. Maka, pendidikan karakter bukanlah tambahan, melainkan inti dari pendidikan tinggi. Mahasiswa yang korup adalah hasil dari sistem yang gagal mendidik jiwa.

2. Logos: Menajamkan Rasio Mahasiswa sebagai Dasar Kejujuran Intelektual
Unsur pertama dalam model Platon adalah Logos, yaitu akal budi atau rasio. Dalam diri mahasiswa, logos berfungsi sebagai kekuatan berpikir logis, kritis, reflektif, dan etis. Penajaman rasio merupakan bagian pertama dan paling utama dalam pembentukan karakter.
Peran Logos dalam Anti-Korupsi:
*Mahasiswa diajarkan membedakan antara kebenaran dan manipulasi.
*Memiliki kemampuan berpikir sistematis agar tidak mudah tertipu oleh argumen palsu.
*Mampu menganalisis struktur kekuasaan dan memahami relasi kuasa dalam masyarakat.
*Menumbuhkan sikap cinta pada kebenaran dan kebijaksanaan.
Aktivitas Pendidikan yang Menajamkan Logos:
1.Diskusi filsafat moral, etika profesi, dan prinsip keadilan.
2.Analisis kasus korupsi dalam pembelajaran multidisiplin.
3.Debat etika antar kelompok mahasiswa dengan fokus pada dilema integritas.
4.Penulisan reflektif tentang keputusan moral dan logika etika.
Ketika mahasiswa terlatih dalam bernalar, mereka tidak hanya tahu bahwa korupsi salah, tetapi juga mengerti mengapa ia salah secara logis dan moral.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun