Mohon tunggu...
Bhayu Parhendrojati
Bhayu Parhendrojati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selalu tenggelam dalam teknologi, manusia, alam, duniawi, macet, hayalan tinggi dan lalai namun selalu mengharap Ihdinashshirothol Mustaqiim..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Agama dan Miskin Perspektif Pemeluknya

15 September 2014   21:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika boleh saya menaruh perspektif seorang Karen Amstrong dalam bukunya 'Sejarah Tuhan' yang telah sangat bagus menjabarkan perspektif tentang pencarian-pencarian manusia akan Tuhannya sejak manusia ada di muka bumi ini dahulu kala nan pertama kalinya, jika puluhan ribu tahun lamanya manusia mencari kebenaran hakiki, dan mainstream dari hal ini adalah terciptanya relasi kepercayaan adanya keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia yang kita kenal dan dilabelkan dengan nama agama Samawi. Agama samawi punya kesamaan pandangan tentang sebuah agama yang mono-theism, yaitu hanya ada satu Tuhan yang patut untuk 'disembah'.

Seluruh kitab suci agama samawi tidak hanya sepakat tentang mono-theism namun mereka juga sepakat tentang 'kebenaran universal' tentang perbuatan baik dan buruk. Mereka berbeda ketika mencoba memasuki ranah ibadah mahdhah dan ini kita tahu dan sadar memang tidak bisa diotak-atik lagi, karena ini berhubungan dengan syar'i masing-masing dari agama samawi itu sendiri, bahkan ini berlaku juga di agama non-samawi dan itu sebaiknya memang dipandang sebagai sebuah keharusan agar "syarat" 'ihdinash shirothalmustaqiim' dapat kita resapi baik secara teks horisontal maupun vertikal.

Untuk perbedaan-perbedaan historis yang sering diperdebatkan 'kebenarannya' oleh para pelaku agama samawi baik antar agama yang sama maupun antara agama yang berbeda itu sebaiknya dipandang sebagai kekayaan suatu perspektif yang multideminsi, dimana dasar dari munculnya perspektif itu haruslah selalu kita 'benturkan' dengan nilai-nilai sunnatullah dengan mengacu tidak hanya dari sisi perspektif akademis saja, namun juga menyertakan sosial, budaya bahkan politik agar residu kesalahan terhadap perspektif tersebut ada di 'angka' yang sangat minimal sekali.

Bagi saya, Agama Islam adalah agama terbenar dan terbaik, dan inilah kepercayaan 'harga mati' dari seorang saya dan pun seharusnya sangat sah-sah saja karena ini juga berlaku dengan anda yang memeluk Nasrani dan bahkan anda yang memeluk Yahudi. Yang naif dan 'sangat lucu', bahkan antara Islam sendiri saja tidak sedikit yang mengaku paling benar di antara mazhab satu dengan lainnya dan jangan lupa, "bukankah ini juga berlaku dalam lingkaran agama Nasrani dan pun Yahudi?"

Ketika seluruh kitab suci seluruh agama samawi menganjurkan untuk beriman kepada Tuhan, Kitab Suci, Malaikat dan Rosul, maka disinilah terjadinya sebuah titik sensitif nan 'mega-besar' yang terus diingkari oleh para pemeluk agama samawi itu sendiri. Antar agama samawi sepertinya sangat alergi ketika harus mengakui hal-hal tersebut, terutama ketika mereka seharusnya sepakat dan juga wajib mengimani kitab-kitab suci dan para Rosul Tuhan yang telah Tuhan hadirkan di muka bumi ini selama ribuan tahun secara parsial dan bertahap. Dan bisa kita rasakan, ketika  masing-masing diserukan dan diwajibkan mengimani hal tersebut oleh Tuhan, mereka seperti membuat "tembok besar" akan kebenaran-kebenaran hal tersebut. Kita dapat melihat sebagian besar umat Islam alergi dengan injil dan isinya, terutama tentang mahdhah dan juga perspektif historis Nasrani akan isi dari kitab suci mereka. Pun begitu dengan Nasrani dan Yahudi, mereka pun punya resistensi yang tidak kecil dalam memandang Islam secara mahdhah, historis, terutama ketika memandang bahwa memang telah lahir si 'Pembawa Pesan Tuhan' yang terakhir, "Muhammad SAW" yang seharusnya semua manusia mengimani hal ini terkait perintah sang MAHA ESA.

Sesungguhnya ini tidaklah akan menjadi masalah besar ketika perbedaan-perbedaan ini kita sepakati ada untuk konsumsi masing-masing saja, namun ketika "kebenaran eksklusif" masing-masing bersinggungan satu sama lainnya, seperti bersosialisasi dalam berbeda agama, berbisnis dalam beda agama, berpolitk dalam berbeda agama bahkan dalam menikah berbeda agama akan menjadi perspektif yang sangat sulit untuk dapat kita saling memahaminya. Dan proses metamorfosis dari suatu dialog yang terus-menerus dan tentunya bukan dan tidak dapat secara instan sekejap dapat menyebabkan munculnya perspektif yang penuh toleransi dan menguatkan satu sama lainnya secara sadar dan ikhklas, atau tidak menutup kemunggkinan jika ini malah dapat menuju ke perspektif yang saling merendahkah dan menghancurkan dan berujung saling meniadakan antar pemeluk agama itu sendiri tentunya. Dan hasil ektrim dari perbedaan perspektif tentang hal ini tentunya sudah dapat kita lihat petik sendiri akibatnya, dan pastinya ini berlaku lokal dan global. Tidak enak dan cenderung mengerikan bukan?


Para eksekutif dan elit di setiap negara memang sudah 'sangat malas' untuk dapat menghadirkan 'atmosfir dialogis' antar agama. Karena setelah era non-blok antara negara yang kebetulan telah hadir puluhan tahun lamanya di bumi ini dan pun sudah terbukti efektif menghilangkan 'kasta' antar negara-negara, dan bukankah hal ini dapat juga kita asosiatifkan dengan memasukan ranah non-blok tersebut pada konteks kita beragama (menghadirkan non-eksklusif agama)?. Karena sesungguhnya praktek tentang wacana non-blok bernegara itu dihadirkan bukan untuk menegasikan negara lainnya dan atau melahirkan situasi superior atau inferior antar negara-negara tersebut bukan?. Dengan dasar tersebut, kenapa tidak segera kita berlakukan untuk menciptkan era non-eksklusif pada sektor keragaman beragama?, dan tentunya ini bukanlah pula untuk menghilangkan dan merusak perspektif para pemeluk agama satu sama lainnya, namun malah dapat menimbulakn multi perspektif masing-masing agama yang berujung kepada kebenaran universal yang jauh dari elit sehingga tumbuhlan toleransi secara alami dalam setiap ranah kehidupan, berlaku di level tertinggi hingga 'akar rumput'.

Maka ketika saya mencoba memahami perspektif Alquran plus Injil, Taurat dan Zabur, sesungguhnya saya tidak sedang mencoba memahami agama lainnya atau bahkan akan keluar dari Islam, melainkan saya hanya sedang beriman kepada kitab-kitab suci Tuhan, dan segala turunannya. Ini berujung kepada perspektif dalam hidup saya yang tidak pernah mencoba menjadi ekslusif dan sebuah produk saja. Salahkah ketika saya mengerti HP tapi juga dapat mengerti IBM, DELL, Fujitsu, dan lainnya? Salahkah ketika saya dapat mengerti server namun bisa juga dapat mengerti storage, network, firewall, listrik, AC, Fire Suppression dan juga aplikasi-aplikasi pendukungnya, sehingga dapat tercipta pemahaman pembuatan sebuah data-center?

Maka akanlah sangat indah ketika kita berbeda namun bisa seperti air dan minyak pada perspektif sebuah iklan mie instan yang sering muncul di televisi akhir-akhir ini. Akanlah sangat mengayakan perspektif kita akan masing-masing agama samawi jika mereka mau belajar satu sama lain terkait pandangan-pandahan universal, historis bahkan jika mungkin masuk dalam ranah mahdhah ditinjau dari sisi spiritualnya. Bukankah berbeda ketika Jawa yang bisa memahami Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali sekaligus Papua daripada seorang Jawa yang hanya bisa memahami Jawa saja?, dan bukankah sebuah keniscayaan yang menyejukkan jika seorang Nasrani bisa memahami Islam, Yahudi bahkan Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya?. Dan ini berlaku linear di masing-masing agama tersebut. Monggo lihat, perbedaan dalam mendukung figur capres 1 dan 2 baru-baru ini melahirkan koalisi yang turunannya berakibat pada saling mencurigai, saling memusuhi dan saling melontarkan kritik yang tidak konstruktif, dan anda dapat menilai siapa yang rugi dalam hal ini?

Jadi jika boleh mencoba menjawab sebuah 'keluhan' sekelompok orang dan menggugat lembaga MK untuk membolehkan nikah berbeda agama (baca Kompas Online, "Gugat UU Pernikahan ke MK Agar Menikah Beda Agama Ada Kepastian Hukum"), maka saya mencoba menglinearkan hal tersebut dengan konteks, "inilah akibat dari para subjektif yang dangkal, miskin perspektif para pemeluk agama dan juga tidak terciptanya forum dialog yang adil jua terus-menerus dari berbagai generasi yang hidup pada era/ masa sekarang ini. Dan ini tidak hanya berlaku di Nuswantara tercinta ini saja, namun juga berlaku di negara-negara lain. Dan jika perspektif ini dipaksakan oleh para penggugat, sesungguhnya para penggugat ini seperti ingin memanen padi yang subur tanpa mau tahu apakah tanahnya memang cocok dan juga apakah sudah membasmi tanaman-tanaman parasit pengganggu beserta para hama organisme yang memang niscaya selalu muncul dalam setiap masa-tanam atau gradien dengan ingin menghadirkan hukum-hukum Alquran tanpa mau menyempurnakan akhlak-akhlak terlebih dahulu. Jadi siapa yang salah?..

‪#‎AllahuAkbar‬ ‪#‎Iqro‬ ‪#‎Objektif‬ ‪#‎Substantif‬ ‪#‎BukanPencitraan‬‪#‎BukanBagong‬

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun