Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Money

Memangnya Jadi Pengusaha Pasti Kaya & Bahagia?

13 Januari 2015   03:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14210679041378514443

[caption id="attachment_390377" align="aligncenter" width="532" caption="Ilustrasi: Dua pengusaha penerbangan sukses. Sir Richard Branson (owner Virgin Air) dan Tony Fernandez (owner Air Asia). --Sumber: cosmone.com"][/caption]

Euforia kewirausahaan alias entrepreneurship mungkin sudah agak mereda sekarang. Di media massa, tidak terlalu terlihat lagi berita utama soal ini. Tertutupi oleh berita musibah yang silih-berganti.

Tetapi itu bagi yang tidak bergelut di komunitasnya. Sementara bagi penggiatnya, suasana itu tetap terasa. Terutama sekali karena selalu ada pengusaha baru. Dimana mereka sedang “semangat-semangatnya” dan justru tidak boleh dimatikan atau diredupkan. Cuma saja, harus dirasionalkan.

Sebenarnya, seperti pernah saya tuliskan di Kompasiana pada 20 September 2013 dalam artikel “7 Kebohongan Tentang Menjadi Pengusaha” (+ 1100 hits), jelas terilhat bahwa apa yang digembar-gemborkan motivator tidak selalu benar.

Kalau saya sekarang ditanya, enak mana menjadi pengusaha atau profesional, saya memilih yang kedua. Karena itu, kaki saya pun tidak hanya satu. Saya masih self-employed juga sebagai coach, consultant dan trainer. Kenapa? Karena entrepreneur itu menanggung resiko banyak, yang kerapkali tidak diduga. Perpisahan dengan partner bisnis adalah yang paling fatal. Apapun sebab dan pemicunya, hal itu seketika akan membangkrutkan usaha kita.

Sayang saya tidak bisa menyebutkan nama, saya melihat sendiri begitu banyak usaha teman-teman saya jatuh. Mereka umumnya “pisah kongsi” dengan pemegang saham lainnya. Padahal, ada yang sudah besar dan cukup lama usahanya. Malah ada pula yang terhitung “guru” untuk bidang kewirausahaan.

Ada pula yang pemiliknya bukan teman, tetapi saya juga melihatnya jatuh. Untuk yang ini saya bisa menyebutkan beberapa nama. Kita melihat kejatuhan “Bakmi Japos” yang tidak terekspos. Saya duga karena kesalahan pengelolaan. Kita melihat kejatuhan “Ayam Bakar Wong Solo” yang jelas karena ekspos pencitraan yang keliru. Pemiliknya memproklamirkan diri sebagai “pendukung poligami”, padahal restorannya jelas restoran keluarga. Para istri pasti kompak memboikotnya. Fenomena “jatuh karena poligami” juga menimpa Aa’ Gym, yang bagaimanapun juga pengusaha. Ada pula yang karena pemiliknya tidak amanah seperti “Primagama” atau bermain di luar bidang keahliannya seperti “Cipaganti”. Kita belum lagi bicara yang raksasa seperti PT BUMI milik Group Bakrie.

Padahal, jelas pencapaian usaha mereka luar biasa. Aset usaha mereka bisa dibilang menyilaukan mata. Saya tidak hendak bicara soal aspek teknisnya, justru dari kegagalan itu saya hendak menegaskan: bahwa jadi pengusaha itu tidak pasti kaya dan jelas belum tentu bahagia.

Pengusaha selalu memiliki resiko, termasuk seperti jatuhnya pesawat Indonesia Air Asia Flight 8501 (QZ8501/AWQ8501) yang pastinya juga memusingkan boss-nya, Tony Fernandez. Padahal kita semua mengira, kehidupan mereka begitu asyiknya. Tony Fernandez dan Sir Richard Branson sendiri seringkali bicara motivasi. Dan mereka memang hidup mewah. Kita tentu masih ingat saat Richard memakai baju pramugari Air Asia karena ia kalah taruhan. Meski bercanda, tetapi kita tahu nilai dari peristiwa itu besar. Dan ia melakukan itu sebagai bagian dari resiko sebagai pengusaha.

Tidak semua orang siap menanggung resiko besar sebagai pengusaha. Bukan sekedar bangkrut bila gagal, tetapi juga bisa masuk penjara. Bahkan bisa pula mengalami gangguan kejiwaan bahkan bunuh diri. Ini bukan menakut-nakuti, karena jadi pengusaha itu memang perlu mental baja.

Kita tidak perlu terprovokasi pada ajakan para motivator apalagi yang berstatus juga sebagai pengusaha yang mengumpulkan uang pula dari seminar. Mereka menggambarkan seolah entrepreneur adalah puncak kehidupan. Memang, pendapatan entrepreneur tak terbatas. Tetapi resikonya pun juga setinggi langit. Tidak semua orang mampu menanggungnya.

Pendeknya, kenali dulu diri Anda. Karena pengusaha juga profesi, sama seperti polisi atau petani. Tidak semua kepribadian,karakter, sifat, dan kebiasaan manusia cocok.

Buat apa mengejar status, kalau tidak bahagia? Masih mending kalau cuma tidak bahagia, kalau jadi pengusaha juga tak kaya-kaya, buat apa? Lebih baik jadi pegawai yang tidak perlu memusingkan aneka hal dengan gaji tetap tiap bulan bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun