Di tengah meningkatnya angka kenakalan remaja di berbagai daerah, termasuk Medan, muncul gagasan yang kembali menguat mengirim anak-anak nakal ke barak militer.Â
Tujuannya jelas agar mereka dididik dengan disiplin ketat, menjalani rutinitas keras, dan diharapkan berubah menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Namun, apakah pendekatan seperti ini benar-benar menyelesaikan akar masalah, atau justru menciptakan luka baru yang tak terlihat?
Barak militer atau pelatihan semi-militer telah diterapkan di beberapa tempat sebagai respons terhadap remaja yang terlibat tawuran, narkoba, geng motor, hingga tindakan kriminal ringan. Dalam waktu singkat, perubahan perilaku sering kali terlihat anak-anak menjadi lebih patuh, rapi, bahkan berbicara dengan gaya tentara.Â
Tapi apakah perubahan ini benar-benar berasal dari dalam, atau sekadar karena tekanan, takut hukuman, dan ingin cepat keluar dari situasi tersebut?
Masalah utama kenakalan remaja sebenarnya tidak sesederhana kurang disiplin. Banyak dari mereka lahir dan tumbuh di lingkungan yang tidak sehat keluarga yang retak, sekolah yang tidak peduli, lingkungan yang keras, dan minimnya ruang positif untuk menyalurkan energi dan emosi.Â
Mengatasi persoalan itu dengan pendekatan militeristik tanpa menyentuh aspek emosional, psikologis, dan sosial anak hanya akan menjadi solusi permukaan.
Selain itu, tidak sedikit laporan yang menunjukkan bahwa sebagian anak yang dikirim ke barak militer mengalami tekanan mental, trauma, dan kehilangan rasa percaya diri. Mereka tidak diberi ruang untuk bicara, hanya dilatih untuk tunduk.Â
Bagi anak yang memang memiliki kecenderungan keras atau trauma masa kecil, pendekatan semacam ini justru bisa memperparah kondisi mereka. Apalagi jika tidak diimbangi dengan konseling dan pendampingan yang profesional.
Namun di sisi lain, ada pula yang berhasil. Beberapa remaja mengaku barak militer menyelamatkan mereka dari gaya hidup berbahaya. Mereka menemukan struktur, kebiasaan baru, dan rasa hormat terhadap waktu dan aturan.Â
Tapi ini hanya bisa terjadi jika pendekatan yang digunakan seimbang antara kedisiplinan dan pembinaan karakter yang mendalam, bukan sekadar hukuman fisik dan teriakan.