Saya tumbuh besar bersama lima orang sahabat yang sangat saya percaya dan sayangi. Sejak SMP, kami berenam selalu menghabiskan waktu bersama belajar kelompok, bermain futsal setiap sore, saling menginap di rumah masing-masing, bahkan kami punya grup WhatsApp khusus yang isinya hanya candaan, foto-foto lucu, dan rencana kegiatan akhir pekan. Persahabatan kami sangat erat, dan kami sudah seperti saudara kandung. Tidak ada yang menyangka bahwa suatu hari, hubungan itu akan diuji oleh pilihan hidup yang sangat berbeda. Semua bermula semenjak kami masuk sekolah SMA. Di saat itu kami berpisah masing-masing memilih sekolah yang berbeda, dan sejak itu arah hidup kami pun mulai berubah.
Saya, Pernando, dan Brama diterima di SMA Swasta yang cukup disiplin dan punya lingkungan yang positif. Sementara dua sahabat lainnya, Abel dan Rangga, masuk ke SMA Negeri yang terkenal lebih bebas dan longgar dalam pengawasan. Awalnya kami masih sering bertemu, meski sekolah kami berbeda.Â
Setiap akhir pekan, kami masih nongkrong bareng, bermain futsal seperti biasa, dan sesekali belajar bersama. Namun seiring waktu berjalan, saya dan teman-teman mulai menyadari perubahan yang mencolok pada diri Abel dan Rangga. Mereka mulai jarang membalas pesan, sering membatalkan janji, dan ketika datang pun terlihat berbeda bau asap rokok melekat pada baju mereka, dan mata mereka sering tampak merah dan kelelahan.
Kami bertiga sempat mengira itu hanya fase adaptasi karena lingkungan sekolah baru. Namun semua menjadi lebih jelas ketika salah satu teman dari sekolah Abel bercerita bahwa mereka sudah mulai merokok hampir setiap hari dan beberapa kali terlihat membawa minuman keras saat nongkrong malam hari. Kabar itu mengejutkan kami, karena selama SMP mereka tidak pernah sekalipun tertarik pada hal-hal seperti itu. Tapi ternyata, lingkungan baru tempat mereka bergaul tidak mendukung gaya hidup sehat. Bahkan, dalam upaya ingin diterima oleh kelompok pergaulan yang "gaul", mereka mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya bertentangan dengan prinsip hidup mereka sendiri.
Dampak dari kebiasaan buruk itu mulai terlihat dengan cepat. Abel menjadi semakin sering membolos, tubuhnya terlihat lemah, dan suaranya mulai serak. Rangga, yang dulunya dikenal sebagai anak yang ceria, kini lebih pendiam dan mudah tersinggung. Nilai mereka menurun drastis, dan hubungan mereka dengan keluarga pun mulai renggang.Â
Sekolah, keluarga, dan lingkungan pun akhirnya mengambil langkah nyata. Mereka mulai mendapatkan pendampingan dari guru BK, konselor remaja, dan bahkan dibimbing secara rohani oleh pembina gereja lokal. Saya, Brama, dan Pernando berkomitmen untuk terus hadir sebagai sahabat. Kami tidak ingin mereka merasa sendirian di tengah perjuangan yang sulit. Kami tahu, melepaskan diri dari kecanduan bukan perkara mudah.Â
Dalam beberapa minggu pertama, mereka masih sering merasa gelisah, kesulitan tidur, dan diliputi rasa malu. Tapi perlahan-lahan, perubahan itu mulai tampak. Abel mulai kembali menekuni hobinya. Sementara Rangga mulai mengisi waktunya dengan musik. Ia belajar bermain gitar dan menyibukkan diri di ekstrakurikuler seni di sekolahnya.
Perjalanan mereka tidak mulus. Beberapa kali mereka hampir kembali ke kebiasaan lama karena tekanan dan ejekan dari teman-teman yang dulu satu tongkrongan. Tapi kali ini, mereka tidak sendiri. Keluarga mereka sudah lebih peduli. Guru-guru lebih terbuka dalam mendampingi. Dan kami bertiga terus berusaha menjadi tempat berlabuh yang sehat. Saya ingat satu sore saat kami duduk di lapangan, Abel berkata dengan suara lirih, "Dulu saya pikir, rokok dan minuman itu pelarian dari stres. Tapi ternyata, itu jebakan yang hampir menghancurkan semuanya tubuh saya, hubungan saya, masa depan saya." Rangga pun menimpali, "Kalau bukan karena kalian, saya rasa saya sudah selesai. Tapi kalian tetap ada. Dan itu berarti banyak."
Kini, Abel dan Rangga sudah jauh berbeda. Mereka kembali aktif di sekolah, lebih sehat, lebih dewasa dalam menyikapi hidup. Bahkan, mereka menjadi inspirasi bagi banyak adik kelas dan komunitas remaja. Mereka tidak malu menceritakan masa lalu mereka. Justru mereka menjadikannya pelajaran berharga untuk mencegah orang lain mengalami kesalahan yang sama. Mereka menyadari bahwa hidup sehat bukan hanya soal menjauhi rokok dan alkohol, tetapi soal bagaimana kita menghargai hidup yang sudah Tuhan percayakan. Mereka telah memilih untuk bangkit, untuk tidak lagi hidup dalam asap dan botol, tapi menatap masa depan dengan hati yang baru.
Cerita Abel dan Rangga mengajarkan saya bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah. Semua orang bisa terjatuh, tapi siapa pun juga bisa bangkit jika diberi kesempatan, dukungan, dan kasih yang tulus. Semua memang bermula sejak kami berpisah di SMA, tapi perubahan bisa dimulai kapan saja, asalkan ada kesadaran dan keberanian. Jika kamu hari ini punya teman yang sedang berjalan di jalur yang salah, jangan menjauh. Bisa jadi, kehadiranmu adalah satu-satunya hal yang mampu membawanya pulang. Dan jika kamu sendiri sedang terjebak dalam jerat kebiasaan buruk, ingatlah: masih ada harapan. Hidupmu masih bisa berubah. Dan kamu layak untuk hidup yang lebih sehat, lebih baik, dan lebih berarti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI