.
Dicekam sepi yang tidak asing lagi, Kebarek pun memilih menyendiri di  pantai Rako.
Kedua bola matanya yang bening tak pernah lalai  meteteskan air mata.
Di pundaknya dihibahkan sebuah beban yang belum ada seorang pun yang bisa memberikan solusi. Ditatapnya deburan ombak berulang kali, sambil bertanya-tanya.
"Tentang cinta, siapakah yang lebih kejam. Apakah budaya yang mengharuskan adanya belis bala atauakah zaman yang menodai arti cinta itu?.
Tatapan sang kebarek begitu tajam, lalu tanganya meraba-raba kantong plastic yang dibawanya diambilnya kue rambut  kemudian  dikunyanya.Lama.
"Iya, karena budaya dan zaman".
"Aku lahir setelah adanya budaya, dan hidup di zaman yang serba modern. Cinta pun mengikuti pola itu".
Hawa di puncak gunung lewotobi menyatu bersama pawana berusaha mengusir kesepian yang datangnya serba mungkin.
Ini bukan tentang cinta yang sesungguhnya bahwa cinta sejati bukanlah pengecut setelah mengetahui belis bala sebagai tuntutan dalam budaya Flores Timur.
Ia menunggu dan terus menunggu. Kesepian dan kesendirian di pantai Rako merambat perlahan membuatnya menyesali waktu yang telah mempertemukan dan memisahkan dirinya dari sang kekasih di kampus biru.