Bayangkan bila Anda mempunyai selembar uang dengan nominal (harga satuan) Rp 50 miliar. Tapi apa ada?
Jeman pernah menerbitkan uang kertas dengan nilai nominal 10.000.000 (sepuluh juta) Mark. Seperti diketahui, Mark adalah mata uang Jerman sebelum negara itu masuk ke dalam Uni Eropa dan menggunakan mata uang Euro yang dipakai di seluruh negara-negara anggota Uni Eropa.
Nah, bila 1 Marks pernah dihargai Rp 5.000 bahkan lebih, maka selembar uang kertas 10 juta Marks itu berarti senilai Rp 50 Miliar. Tidak tanggung-tanggung besarnya!
Tapi tentu saja bila nilai mata uang itu dalam kondisi normal, dalam arti kondisi ekonomi di Jerman dalam keadaan baik. Tidak dengan selembar uang kertas 10 juta Marks itu.Â
Uang kertas tersebut diterbitkan pada 1923, tahun di mana terjadinya inflasi besar-besaran di Jerman. Bukan inflasi biasa, tetapi hiperinflasi, di mana nilai uang menjadi sangat tidak berharga.
Kalau biasanya inflasi hanya sekitar 7 sampai 10 persen dalam setahun, maka pada 1923 itu, tingkat inflasi di Jerman mencapai sampai 20 persen dalam sehari.Â
Ya, hanya sehari saja harga barang sudah meningkat 20 persen. Bayangkan kalau dalam seminggu atau sebulan, yang berarti 30 (hari) x 20 persen = 600 persen. Gila-gilaan memang.
Hal ini terjadi karena Jerman kalah dalam Perang Dunia I, dan terpaksa atau dipaksa membayar ganti rugi (reparasi) kepada negara-negara yang pernah dirugikan Jerman dalam perang.
Namun karena kesalahan pengelolaan keuangan, terjadilah hiperinflasi di Jerman. Sepotong roti yang awalnya hanya 250 Mark pada awal 1923, segera melesat mencapai angka lebih dari 100 bahkan 200 juta Mark di akhir tahun.
Bila pertengahan 1923 baru dicetak uang kertas ratusan ribu Mark, maka pada akhir 1923 keluar uang-uang kertas bernominal jutaan Mark, termasuk selembar uang kertas bernominal 10 juta Mark tadi.