Mohon tunggu...
Berti Khajati
Berti Khajati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumni IKIP Muhammadiyah Purworejo (1998) dan SPs UHAMKA Jakarta (2021) menulis puisi, cerpen, pentigraf, cerita anak dan artikel nonfiksi lainnya bersama berbagai komunitas literasi di dalam dan luar negeri, mengabdi sebagai Kepala Sekolah di SDN Samudrajaya 03 Tarumajaya - Kab. Bekasi. Mempunyai quote "Filternya ada di dalam jiwa."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjelajah Bahari

30 Juni 2022   19:04 Diperbarui: 30 Juni 2022   19:09 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buku berwarna coklat bergambar kapal itu milik Ayah. Ayah suka membaca buku. Buku-buku Ayah berderet rapi di sudut ruang tamu. Buku Ayah yang terbaru berjudul "Penjelajah Bahari". Kata Ayah, bahari berarti lautan. Konon nenek moyang kita adalah pelaut yang sangat pemberani. Mereka pergi berlayar di lautan luas untuk menjelajahi banyak pulau. Badan mereka pun sangat kuat.
Ketika Ayah pergi bekerja, aku membuka-buka buku Ayah. Seru sekali membaca petualangan orang-orang dulu menyeberangi lautan dan menemukan pulau-pulau baru. Aku tidak mengerti seluruhnya tapi kubayangkan betapa senangnya menjadi penjelajah bahari seperti yang ditulis di buku itu.


"Iza! Jaga adikmu, ya! Ibu mau ke rumah tante Nia. Tante mau melahirkan", pesan Ibu. Karena Ibu seorang bidan, ia harus tetap membantu orang yang melahirkan. Padahal ini masih corona. Aku pun harus belajar dari rumah. Adikku yang baru kelas satu pun belum boleh masuk sekolah. Kami hanya boleh belajar dan bermain di dalam rumah. Ayah dan Ibu pun tidak setiap hari pergi bekerja. Ayah lebih sering bekerja di rumah dengan laptopnya, sedangkan Ibu masih tetap membantu orang yang melahirkan meskipun harus memakai pakaian khusus.


Hari ini Ayah mendapat giliran ke kantor. Ibu juga pergi ke rumah tante Nia yang akan melahirkan. Adam masih tidur ketika Ayah dan Ibu pergi. Biasanya saat bangun tidur Adam selalu mencari Ibu. Sekarang Ibu pergi ke rumah tante Nia dan tentu saja tidak boleh diganggu karena membantu tante melahirkan.
Benar saja, Adam terbangun dan berteriak memanggil Ibu. Aku pun cepat-cepat mendekatinya dan berkata, "Ibu membantu tante Nia melahirkan, Dik. Yuk, kita sarapan dulu. Habis itu kita bermain."


Adam segera pergi ke kamar mandi dan mencuci muka. Setelah sarapan Adam menagih janjiku, "Kita bermain apa, Kak?" Tiba-tiba aku teringat buku Ayah. "Kita bermain kapal-kapalan, yuk!"
Kami membentangkan kain batik milik Ibu. Ujung yang satu kuikat di tiang ranjang besi di kamar. Ranjang itu sudah ada sebelum kami dilahirkan. Kata Ibu, ranjang itu peninggalan Kakek yang sudah lama meninggal. Setelah kuikat erat-erat, ujung yang satunya lagi diikat di tiang yang lain. Bentuknya mirip dengan kapal di buku Ayah. Lalu aku mengambil sarung Ayah dan kugantungkan di atap ranjang. Jadilah kapal layar kami.


"Lapor! Kapal siap berlayar!" Kapten Adam berdiri tegak memberi hormat. Ia melompat ke atas kapal dan mulai menjalankannya dengan kecepatan penuh. Layarnya berkibar-kibar ditiup angin. Aku mengamati ombak yang semakin ke tengah semakin tinggi. Angin pun berhembus semakin kencang. Suaranya gemuruh dari arah belakang kapal. Layarnya mengembang penuh dan kapal pun melaju cepat.


Di tengah lautan yang luas, kapal bergoncang keras dan Kapten Adam sibuk mengendalikan layar yang mulai tak kuat menahan tiupan angin kencang. Tiba-tiba cuaca berubah. Suasana cerah menjadi gelap dan hujan mulai turun. Aku berteriak, "Waspada badai di depan, Kapten!"
Kapten Adam sibuk menghentak-hentakkan kaki dan menarik kuat-kuat layar yang mulai kehilangan kendali. Angin yang berputar membuat layar terlilit tiang. Untuk mengembalikan posisi layar ke tempat yang benar dibutuhkan tenaga yang kuat. Aku berusaha mencari titik hitam sebuah pulau di antara kencangnya badai yang menyerang. "Ada titik hitam di sebelah kanan! Arahkan layar berputar ke kiri!"
Kapten Adam dengan sigap menarik layar ke arah kiri. "Brett!!" Tiba-tiba layar itu robek. Sekuat tenaga kami menjejak dasar kapal dan kaki-kaki kami seperti menembus dinding kapal. "Gawat! Kapal kita bocor!" teriak Kapten Adam. Aku segera memberi komando, "Jangan panik! Tetap arahkan sobekan layar ke arah kiri! Bersiap! Kita akan terdampar di pulau!"
Kami terus menarik layar dan menjejakkan kaki kuat-kuat agar kapal tetap seimbang. Ketika kapal mulai miring dan hampir tenggelam, kami berhasil mencapai pantai di pulau itu. Kami tergeletak kelelahan di pantai dan tertidur.


Aku terbangun karena ketukan pintu. Tiba-tiba saja Ayah sudah berdiri di depan pintu dan melihat kamar yang berantakan. Kain batik Ibu yang terbelah, sarung Ayah yang sobek di sudutnya, dan tiang ranjang yang sedikit melengkung. Setelah beberapa saat Ayah terlihat tegang, ia melangkah ke ruang depan. Ketika kembali, Ayah menunjukkan buku di tangannya, "Kalian menjadi penjelajah bahari, ya?"
Aku tertunduk. Hatiku gelisah karena kami telah merusak sarung Ayah dan kain batik kesayangan Ibu. Adam masih tertidur kelelahan setelah kehebohan kami berlayar.


Ayah meraih kepalaku dan mengelusnya. "Jangan khawatir. Ayah tidak marah. Ayah bangga kalian suka membaca buku dan bermain seperti di buku ini."
Ayah menceritakan kehebatan penjelajah bahari yang gemar berlayar di lautan dan menemukan banyak pulau di dunia. Ketika ibu pulang, ia heran melihat kamar yang berantakan dan ingin membuka mulutnya. Tapi Ayah hanya mengedipkan matanya sambil tersenyum dan menunjukkan buku yang sedang dipegangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun