Dinda tertegun. Ditatapnya layar monitor, dinding berandanya, yang tiba-tiba berhiaskan tulisan:
"Din, dengarlah
saat kautulis sajak kecil
di dinding berandaku
aku masih menikmati rinai
yang bernyanyi memecah sepi
KAU"*
Terasa ada sayatan menyelinap dalam hatinya, semacam desir halus tak terdeteksi, namun sungguh nyeri.
Lembu Purwo, sepuluh tahun yang lalu.
Gemerisik angin yang meniup daun-daun bakau, membuat suasana pantai terasa sendu. Dinda dapat meresapi kedamaian yang menyusupi hatinya. Ditatapnya permukaan air pantai yang makin lama makin tinggi, dengan warnanya yang mendekati warna kopi susu. Rasa bosan merayapi hatinya.
"Duh, Mas Ardi lama sekali," keluhnya. Dibacanya kembali novel Dan Brown yang berjudul "Da Vinci Code", menelusuri jejak Sophie Marceu dan Robert Langdon yang sedang memburu isyarat rahasia Saunierre. Dinda tenggelam dalam arus petualangan dan trigger novel yang tengah dibacanya.
Sepasang tangan, berbau amis memeluknya dari belakang.
"Yuk, pulang. Mas sudah dapat ikan," sambil diayunkannya dua ekor ikan persis di depan hidung Dinda. Spontan Dinda berteriak, "Mas!!!"
Didorongnya tubuh legam yang seharian terbakar matahari kuat-kuat. Namun yang didapat malah pelukan yang semakin erat, membenamkan kepala Dinda di dada kekar itu. Dinda menyerah, memilih menikmati kedamaian yang menyusupi jiwanya.
Bubutan, sewindu yang lalu.
Angin semilir pagi itu menyambut kedatangan Panitia Lomba Baca Puisi Antarsekolah se Kecamatan Purwodadi. Sejak dari Purworejo tadi Dinda diam membisu, sementara tangannya sibuk membereskan map-map administrasi yang masih berantakan.
Ada yang aneh pada diri Ardi hari ini. Wajahnya mendung, tak secerah biasanya. Dinda tak mau mengusiknya, dia tahu hari ini ada yang sedang mengusik pikiran Ardi.
Lomba berlangsung lancar dan meriah. Menjelang sore hari, Panitia berkemas untuk kembali ke Purworejo. Sambutan Camat Purwodadi sangat hangat, namun bagi Dinda kehangatan itu terasa kurang, karena wajah mendung Ardi selalu mengganggu benaknya.
"Din, aku pergi sebentar, ya," pamit Ardi saat Dinda sibuk mengemasi map-map administrasi yang akan dibawa kembali.
"Ke mana, Mas?", balas Dinda.
Ardi hanya diam, menjawab dengan tatapan sayu yang mengandung kepedihan. Hati Dinda terasa berdesir. Dibiarkannya Ardi berlalu tanpa suara, sambil menahan tanya yang berkelebat di hatinya.