Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korban Jepang: Saman Raharusun, Mengapa Bom Ikan?

23 Maret 2010   16:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi hari yang indah, laut sedang teduh. Angin pagi yang menghilang ditelan jernihnya Laut Arafura dan Laut Banda menyentuh pesisir pulau dan pantai Du-Roa.  Pulau yang hanya seluas 7kmx2km untuk bagian terlebar, mengambang di Laut Sir Dobro, laut warisan atau petuanan penduduk Du-Roa. Alam yang indah dan damai, tidak melukiskan badai dan petir yang sedang bergolak dalam diri Saman Raharusun.

Itu terjadi pada salah satu di pertengahan bulan Mei 1943, di Du-Roa, Maluku. Beberapa orang tentara pendudukan Jepang, mendekati rumah Saman Raharusun. Saman diminta tentara Jepang untuk menangkap ikan dengan bom. Padahal, Saman tidak pernah bersentuhan dengan molotov atau pun detonator buatan sendiri untuk mengebom ikan. Karena itu, perintah menangkap ikan dengan bom, bagi Saman  tidak lebih dari perintah tabuang-diri (bahasa setempat) atau harakiri (bunuh diri).

Saman tentu tidak memikirkan dirinya terutama. Kalau masih bujang, tentulah ia dapat berspekulasi untuk sekalian belajar menangkap ikan dengan bom. Meski bom itu sendiri akan menghancurkan karang dan kehidupan pesisir laut yang dangkal. Bahkan, dapat berbahaya bagi mereka yang sungguh tidak pernah menggunakannya. Karena itulah, salah satu kecemasannya sebagai manusia.

Lebih dari itu, Saman sebenarnya sangat mengkhawatirkan, bila sesuatu terjadi dengan dirinya. Apa yang akan terjadi dengan isterinya Rahma Em Raharusun dan putera satu-satunya Abdul Rasyid Raharusun yang masih bocah. Kekhawatirannya di pagi cerah itu adalah isterinya dan putera semata wayang. Rasyid berusia 13 tahun.

Isterinya Rahma Em Raharusun  adalah salah seorang puteri desa Du-Roa, dengan tinggi mencapai 175 cm, kulit terang, hidung mancung dan rambut panjang terurai. Para puteri dari marga atau klan Nuhuyanan umumnya tinggi, dan juga cerdas, sehingga mereka sering menikah dengan keturunan Arab atau Tionghoa setempat.

Untuk menemani Saman Raharusun yang berusia hampir 30 tahun itu, ia ditemani Tarav Rumadan dan Gasir Fadirubun. Gasir mempunyai seorang anak gadis, sementara Tarav memiliki seorang putera bernama Abtihi. Saman, Gasir dan Abtihi tentulah berangkat dengan kegalauan hati untuk sebuah tugas yang mustahil atau tidak berlebihan untuk disebut mission impossible.


Sebelum tengah hari, pada pertengahan Mei itu, penduduk desa Du-Roa yang berpenduduk 300-an orang itu, dikejutkan berita buruk tewasnya Saman, Tarav dan Gasir. Seluruh penduduk desa Du-Roa, yang Muslim maupun Katolik, berbondong meratapi ketiga korban bom ikan itu. Woma Farne-Harmas, Nit Ohoiro Fa-Uur, berduka. Ya, Ibu Pertiwi Du-Roa berduka, untuk tiga Putera desanya, dan keluarga, isteri dan anak-anak mereka yang ditinggalkan.

Meskipun dalam kesedihan besar, seluruh penduduk menguburkan ketiganya dengan dishalatkan di rumah masing-masing. Karena, bahkan gedung masjid dan gereja dijadikan gudang oleh tentara Jepang. Kesedihan itupun, hanya awal dari penderitaan lain saudara-saudaranya di desa Du-Roa khususnya, dan di kepulauan (Suku) Kei umumnya.

Pada masa pendudukan Jepang, Rahama Em Raharusun, mengalami depresi yang hebat. Setelah sebelumnya punya dua puteri dengan Umar Matly. Ia harus membesarkan ketiga anaknya. Namun, kisah sejarah dan kebudayaan yang menjadikan tabu sebagian sejarah, tidak memberi kita petunjuk, mengapa Jepang melakukan sesuatu yang begitu kejam. Em Nuhuyanan meninggal pada tahun 2003, dalam keadaan jiwa terganggu.

Peneliti sejarah atau antropologi dapat melakukan standarisasi interview dengan korban kependudukan Jepang di kemudian hari. Tugas yang belum terlalu terlambat. Tetapi dapat menjadi mitos kependudukan Jepang, jika fakta tidak banyak terungkap. Halangan budaya dan adat istiadat makin membawa kesulitan sendiri suatu penelitian yang mengurai pelbagai fakta.

Atau jika ada kajian lebih profesional, masyrakat lebih percaya dan terbuka. Praktek-praktek kekejaman tentara Jepang yang tersisa di pulau Du-Roa khususnya dan di kepulauan Kei memiliki cirinya sendiri. Di desa Du-Roa, Maluku, sejarah masih tabu, apalagi menyangkut sexual abuse, moral hazard atau jugun ianfu yang terjadi terhadap wanita yang adalah orang tua, leluhur mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun