Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Beda Pandangan Hukum, Analogi Tifatul Saya Apresiasi

22 Juni 2010   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:22 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sejumlah pembaca langsung menangkap substansi pembelaan saya kepada Menkoinfokom Tifatul Sembiring. Terhadap catatan (reportase) itu ada yang masih melengkapi dengan catatan, misalnya, “jangan sampai orang kesal hanya karena analogi itu dari seorang Tifatul; atau, “Kan ada sejumlah gudang analogi lain bisa diambil”, dan komentar membela. Tapi, tidak sedikit yang masih mencela dengan pelbagai apriori lain yang langsung juga menghubungkan paksa seolah Tifatul punya niat kurang baik soal peristiwa penyaliban Yesus substansi Rekaman Mirip Artis (RMA).

Tanggapan yang khusus dalam artikel dengan poin adalah detail konstruksi ilmiah, metode dan lain-lain hal yang disampaikan Relly Jehato, dalam http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/22/membela-tifatul-sembiring-catatan-untuk-berthy-b-rahawarin/. Saya menghargai pandangannya. Catatan saya, lebih dari itu, penjelasan detail itu cukup panjang untuk mengerti “analogi” secara sederhana, bahwa “analogi” dua substansi dapat dijelaskan dalam dua tesis dengan ribuan halaman. Tetapi, bahwa “analogi” dapat digunakan dengan amat sederhana, semisal “Tuhan Yang Maha Esa”, “Yang Maha Baik”, “Yang Pemurah Lagi Penyayang”, atau “Tuhan murka”, dan seterusnya. Semua kata-kata ini adalah analogi sederhana, dengan atau tanpa penelitian lebih dalam terserah.

Analogi dalam bentuk paralelisme juga dapat kita jumpai dalam kisah-kisah relijius. Anda dapat menemukannya dalam hampir semua Kitab Suci agama-agama. Malah, tidak sedikit Nabi atau Guru mengajar dalam bentuk parable, paralelisme, analogi, metaphor, dan seterusnya, untuk menyederhanakan “hal-hal yang ilahi atau Transenden dengan pengertian manusia”. Kemungkinan, mas Relly J masih memiliki pemahaman tersendiri hal “Analogi” atau memaksudkan dalam konteks lain. Dan, kalau mas Relly menerima dan mengapresiasi permintaan maaf Tifatul, saya mengapresiasi, tetapi saya menganggap "Pak Tifatul tidak perlu meminta maaf."

Kalau saya mengatakan, analogi Menkoinfokom digunakan dalam konteks beda pandangan hokum perihal Rekaman Mirip Artis (RMA). Dan itu tidak ada hubungan dengan kategori keyakinana. Saya begitu mengapresiasi pengacara Nasrullah yang tampil kritis dengan filosofi hokum yang runut, ketika berdebat dengan Elsa Sarif di TV One. Karena itu, saya yakin bahwa seperti Nasrullah, ahli hokum pidana lainnya dapat memiliki filosofi hokum pidana yang cukup untuk membedah kasus RMA. Dalam konteks ini, saya mengapresiasi para pemerhati hokum yang kritis dan tidak mudah menghukum tanpa proses hokum yang benar Kasus RMA.

Bahwa, karena analogi ini digunakan secara spontan, dengan tujuan mulia eksplanasi kasus RMA, itu salah satu bentuk upaya eksplanasi Pak Menteri. Hal ini tidak boleh direduksikan menjadi sikap emosional dan irrasional, menganggap Tifatul ada niat menghina. Itu yang harus dihilangkan dari syak-wasangka masyarakat. Penjelasan dengan analogi penyaliban Yesus, saya mengandaikan hal ini hanya dimengerti kaum Muslim dan Kristen. Kaum Hindu, Budha, atau Kong Fu Tju tidak langsung menangkapnya.

Konsisten Membela Kemuliaan Hati

Reportase kami http://hukum.kompasiana.com/2010/06/17/rekaman-menteri-tifatul-berulah-presiden-sibuk-lagi/ mendahului reportase “Sikap Membela Tifatul” adalah sebuah konsistensi membela dengan sikap kritis, apa yang dialami pihak yang dianggap ada dalam RMA, bahwa sikap hokum harus lebih hati-hati.

Tapi, hal analogi itu, suatu kewajaran saja. Saya tidak memaafkan Pak Tifatul karena Beliau memohon maaf, tetapi karena, menurut hemat saya, Beliau tidak perlu meminta maaf. Saya meminta Beliau, untuk meminta pengacara Nasrullah (yang berdebat dengan Elsa Sarif) di TV One, beberapa malam lalu (bukan pengacara Teuku Nasrullah). Dia cukup menguasai filosofi hokum RMA.

Akhirnya, seperti saya menghendaki bahwa dengan sikap obyektif dan proporsional saya membela Pak Tifatul dengan argumentasi sederhana. Sebagai pemerhati hokum, saya menghargai bahwa mereka yang ada dalam RMA itu harus mendapat perlakuan obyektif dan proporsional. Ketulusan saya membela, lepas kepentingan, tapi demi integritas dan sebuah kejujuran nurani pada mereka yang patut dibela. Terhindar dari hukuman arus massa, atas nama apa pun, kecuali kebenaran, kejujuran dan kesejatian memintanya. Saya hanya minta, Pak Tifatul mendengar praktisi hukum Nasrullah, bukan Elsa Sarif atau Farhat Abbas, meski saya tetap menghargai perbedaan pendapat. Tulus saya mengatakan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun