Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”; Novel Terbangsat yang Pernah Saya Baca

4 Oktober 2014   02:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:27 1905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123402501727890892

Novel ini bercerita tentang pria bernama Ajo Kawir, dan kisah hidupnya yang sesak, yang disebabkan oleh seekor Burung yang terus saja tertidur. Pedih membayangkannya.

Eka Kurniawan, sang penulis novel, memberi gaya bercerita yang berbeda dalam novel teranyarnya itu, paling tidak berbeda dengan gaya penceritaannya yang saya tahu. Atau boleh jadi saya sok tahu—dan saya tak malu kalaupun demikian adanya, tapi saya merasa ada keterpengaruhan gaya menulisnya dengan AS Laksana. Saya merasa begitu setelah sekian lama mengikuti tulisan AS Laksana (di bukunya, blognya, dan kicauannya di FB dan Twitter) dan menemukan beberapa sahabatnya yang tergabung dalam “Sindikat Pengutuk Cerita Buruk” (kurang lebih begitu nama perkumpulan yang mereka bentuk, mungkin untuk sekadar iseng) mulai menunjukkan gaya menulis yang mirip dengannya. Kalimat-kalimat tertentu yang khas Laksana kutemui pada novel itu. Yang kutahu, Eka biasa menulis lebih bengal pada aturan, tak bisa dikatakan tak terstruktur tapi tentu saja ia tak serapi di novelnya kali ini. Tentang terpilihnya ia sebagai salah satu nominasi KLA 2014, saya pikir sangat layak dan dengan tidak memancang ekspektasi terlalu tinggi—mengingat AS Laksana yang sangat bagus dan tumbang tahun lalu, saya harap ia menang.

Dari sekian banyak kelebihan pada novel itu, saya menemukan tiga hal yang sangat penting sehingga membuat nilai novel itu meroket. Dan membuat saya tak menyesal membacanya. Pertama, adalah kover bukunya yang menampilkan lukisan burung yang tertidur sembari berdiri dengan satu kaki. Kepala burung itu menyampir ke punggungnya. Tekstur tubuh burung itu pun dibuat dengan corak yang beragam, seperti batik, namun tak serumit, ia lebih mirip lukisan kanak-kanak. Tapi yang penting bukan seberapa bagus lukisan itu, yang penting adalah seberap “kuat” pesan yang dibawanya. Jika dihubungkan dengan isi novelnya, saya tak yakin ada kover lain yang bisa lebih “pas” daripada yang ini. Apalagi setelah kita tahu bahwa gambar Burung itu bukan hiasan kover belaka, kita bisa menemukan gambar itu dalam cerita—Eka menyisipkannya sebagai lukisan di bak penutup truk. Kedua, tentang judulnya. Sejujurnya yang paling membuat saya penasaran sehingga menuntaskan bacaan ini adalah judulnya. Apa maksudnya “RIndu yang Harus Dibayar Tuntas”? Demi Tuhan saya tak bisa membayangkannya. Berbeda dengan “Dendam yang Dibayar Tuntas” yang mudah diramalkan ke mana arahnya, saya tidak punya klue tentang “Rindu”. Bangsat betul kalau akhirnya Eka hanya menceritakan tentang seseorang yang merindukan kekasihnya dan berjuang mencari atau menapaki jalan terjal untuk bertemu kekasihnya. Saya tak yakin sesimpel itu, dan saya akan menyebutnya “Bangsat” kalau memang akhirnya hanya sesimpel itu. Dan dugaan saya tak meleset sesenti pun, benar bahwa judul itu tak main-main nilainya. Saya tak menyangka kalau ada “Rindu” yang begitu, sebuah jenis rindu yang langka terjadi, namun di sisi lain ia pula terasa dekat dan menyindir dengan kejam—khususnya kepada lelaki. Ketiga, penutupnya. Ini penutup cerita yang luar biasa keren. Ia bukan jenis penutup cerita yang akan membuatmu tertegun oleh kejutannya, atau yang membuatmu berbinar seperti film India ketika Rahul dan Anjeli berakhir di pelaminan dengan wajah becek air mata. Ia lebih mirip sebuah punch line dalam ber-stand up (komedi). Saya terbawa cerita saat membacanya, banyak terenyuh, banyak tersentuh, banyak meringis, dan sedikit tersenyum, lalu Eka membuat saya terbahak-bahak di akhir—dan samapai sekarang pun saya masih saja geli jika mengingat bagian itu. Sebuah penutup yang sempurna untuk menyelamatkan pembaca dari dalamnya lautan pemikiran dan perenungan yang ditawarkan novel ini. Tiga aspek tersebut memberi nilai luar biasa. Membuat saya tetap ingin mengatakan “bangsat” untuk novel yang super keren ini—dia layak disebut lebih dari “Bangsat”.

Saya selalu terkesan berlebihan tiap kali menyukai sebuah bacaan. Entahlah, rasanya seperti menemukan es krim dengan rasa favoritmu di padang pasir. Ia berharga betul saat itu, dan sudah begitu lama saya tak menemukan bacaan yang menuntaskan dahaga saya. Mungkin seperti membuka sebuah kotak hitam yang ditempeli kertas yang bertulisankan “Khusus Buatmu!” dan saya menemukan buku itu di dalamnya. Ya, buku itu boleh menjadi buku sastra terbaik versi saya saat ini, tidak tahu nanti, ketika saya menemukan buku lain yang lebih bagus. Mungkin buku ini tak lagi seistimewa sekarang. Tapi untuk saat ini, dia berada pada urutan pertama untuk kategori novel sastra pilihan saya.

Berry Budiman, Lubuklinggau

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun