Mohon tunggu...
Bernard Mbuik
Bernard Mbuik Mohon Tunggu... Dosen dan Dekan FKIP Universitas Citra Bangsa

Saya adalah seorang dosen Manajemen Pendidikan yang aktif mengajar dan meneliti isu-isu pendidikan kontekstual di wilayah Indonesia Timur, khususnya Nusa Tenggara Timur. Saya percaya bahwa pendidikan tidak hanya soal angka, tapi tentang keberpihakan pada kemanusiaan dan keadilan. Saya menyukai aktivitas menulis opini, mengembangkan modul ajar berbasis budaya lokal, serta berdialog dengan guru-guru di lapangan. Topik favorit saya mencakup kebijakan pendidikan, kepemimpinan sekolah, pendidikan karakter, serta spiritualitas dalam dunia pendidikan. Di luar akademik, saya menikmati membaca buku filsafat pendidikan, menonton dokumenter sosial, dan menjelajahi kampung-kampung di pedalaman untuk belajar langsung dari kehidupan. Saya percaya bahwa suara dari daerah seharusnya punya ruang di percakapan nasional — dan tulisan saya adalah upaya kecil untuk itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akreditasi: Seremoni Tanpa Subtansi?

13 Juli 2025   00:00 Diperbarui: 12 Juli 2025   08:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di Indonesia, label “akreditasi A” atau “unggul” sering menjadi kebanggaan institusi pendidikan. Plakatnya dipajang, sertifikatnya diumumkan, dan nilainya dijadikan alat promosi. Tapi, benarkah predikat itu mencerminkan mutu yang sesungguhnya? Atau justru hanya sekadar stempel formalitas seremoni lima tahunan yang jauh dari denyut kehidupan nyata di ruang kelas? Pertanyaan ini makin relevan ketika banyak sekolah berstatus ‘unggul’ justru gagal membuktikan dampak nyata pada hasil belajar dan karakter siswa.

Laporan Rapor Pendidikan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% sekolah yang mendapat akreditasi A ternyata memiliki capaian literasi dan numerasi siswa di bawah standar minimum. Ini menunjukkan adanya disonansi antara "mutu di atas kertas" dan "mutu yang dialami siswa di kelas".

Temuan World Bank (2022) menyatakan bahwa sistem akreditasi di banyak negara berkembang kerap bersifat simbolik dan gagal mendeteksi kualitas riil pembelajaran. Penilaian terlalu menekankan dokumentasi dan infrastruktur, bukan praktik pembelajaran kontekstual dan berdampak. Profesor Michael Fullan (2020) mengingatkan bahwa sistem mutu sejati harus hidup di ruang kelas. “Jika mutu tidak hidup dalam pikiran siswa, maka seluruh sistem hanya menjadi birokrasi tanpa jiwa.”

Di Indonesia, akreditasi sering memicu “akrobat administratif”. Menjelang visitasi, sekolah mendadak rapi dokumen dilengkapi, banner diganti, pelatihan kilat dilaksanakan. Tapi setelah asesor pulang, semangat pembaruan ikut lenyap.

1. Fokus pada Dokumen, Bukan Dampak Nyata

Hingga kini, akreditasi masih sangat terpaku pada aspek administratif seperti kelengkapan RPP, SOP, atau struktur organisasi. Padahal, mutu pendidikan yang sejati tidak diukur dari seberapa rapi dokumen disusun, melainkan dari bagaimana pembelajaran mengubah cara berpikir dan bertindak siswa di dalam kelas. Menurut OECD (2020), sistem evaluasi yang terlalu mengedepankan kepatuhan administratif cenderung mengabaikan substansi pedagogik, seperti kualitas interaksi guru-siswa dan efektivitas proses belajar.

2.Tidak Ada Evaluasi Berkelanjutan Pasca-Akreditasi

Setelah visitasi dilakukan dan nilai ditetapkan, tidak ada mekanisme untuk memantau apakah rekomendasi benar-benar ditindaklanjuti. Banyak sekolah yang "berbenah hanya saat diperiksa", lalu kembali ke kebiasaan lama setelah proses selesai. Tanpa siklus umpan balik yang konsisten dan sistem pendampingan yang berkelanjutan, akreditasi hanya menjadi titik akhir birokrasi, bukan awal dari pembaruan mutu (Kemendikbudristek, 2023).

3. Akreditasi yang Terputus dari Suara Komunitas Pendidikan

Salah satu kelemahan mendasar adalah eksklusi stakeholder utama—siswa, orang tua, alumni, dan mitra dunia kerja dari proses akreditasi. Padahal, mereka adalah pengguna langsung layanan pendidikan dan memiliki perspektif penting tentang efektivitas sekolah atau kampus. UNESCO (2019) menegaskan bahwa sistem penjaminan mutu yang akuntabel dan inklusif harus melibatkan berbagai suara untuk membangun kepercayaan publik dan meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan nyata.

Solusi: Menuju Akreditasi yang Bermakna dan Berdampak

  • Redesain Instrumen: Dari Administrasi ke Transformasi Pembelajaran
  • Instrumen akreditasi perlu dirombak agar lebih menekankan pada evidence-based outcomes yaitu capaian pembelajaran nyata, praktik pedagogi inovatif, dan dampaknya terhadap siswa. Indikator tidak cukup menilai dokumen, tetapi harus merekam rekaman pembelajaran, hasil asesmen, dan inovasi guru dalam meningkatkan keterlibatan siswa.
  • Monitoring Longitudinal: Akreditasi sebagai Proses, Bukan Proyek
  • Akreditasi harus bergeser dari evaluasi lima tahunan menjadi proses pemantauan mutu yang berkelanjutan. Melalui dashboard digital yang terhubung dengan Rapor Pendidikan, asesmen nasional, dan PKG/PKKS, sekolah dapat terus merekam dan menganalisis progres secara real-time. Ini memungkinkan intervensi cepat dan berbasis data.
  • Kepemimpinan Pembelajaran: Dari Kepala Sekolah sebagai Manajer ke Agen Perubahan
    Leithwood et al. (2021) menekankan bahwa keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kepemimpinan yang fokus pada pembelajaran. Kepala sekolah harus dibina dan dinilai bukan karena kelengkapan laporan, tetapi karena kemampuannya menggerakkan guru, menciptakan budaya reflektif, dan membangun visi mutu yang hidup di ruang kelas.
  • Akreditasi Partisipatif: Libatkan Komunitas sebagai Mitra Penjaminan Mutu
  • Proses akreditasi harus terbuka terhadap evaluasi dari seluruh pemangku kepentingan siswa, orang tua, alumni, mitra dunia kerja, dan masyarakat lokal. Suara mereka penting untuk menilai sejauh mana pendidikan relevan, responsif, dan berdampak dalam kehidupan nyata. Ini sekaligus memperkuat akuntabilitas sosial lembaga pendidikan.
  • Kontekstualisasi Akreditasi: Fleksibilitas dalam Bingkai Nasional
  • Satu model akreditasi tidak bisa diberlakukan secara kaku di seluruh wilayah. Harus ada ruang fleksibilitas agar daerah dapat menyesuaikan indikator dengan karakteristik lokal, tantangan geografis, dan sosial budaya. Schleicher (2020) menyebut pendekatan ini sebagai context-sensitive evaluation, yang justru meningkatkan relevansi dan efektivitas sistem penjaminan mutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun