Yuks yuks... Jalan-jalan ke Nganjuk... Hehehe... Perjalanan ini dimulai dari pusat Kabupaten Nganjuk yang berada di Kecamatan Nganjuk (baca: rumah penulis), menuju arah selatan melewati 3 kecamatan lainnya (Kecamatan Loceret, Kecamatan Berbek, dan Kecamatan Ngetos), jangan lupa singgah dulu di Kecamatan Berbek pamitan sama sesepuh keluarga (baca: Eyang putri) plusmakan nasi pecel khas Nganjuk yang enak banget! Lokasinya bersebelahan dengan alun-alun Berbek, recommended banget! ~(^_^)~
Barulah perjalanan ini berakhir ditujuan utama yakni Candi Ngetos. Ada 2 jalan yang dapat digunakan untuk menuju Candi Ngetos tersebut. Namun, lebih indah jika melewati jalan utama menuju tempat-tempat wisata di daerah Gunung Wilis, seperti Air Terjun Sedudo, Air Terjun Singokromo, dan lainnya. Karena kita dapat menikmati panorama keindahan Gunung Wilis dengan lebih jelas. Dari jembatan Sungai Kuncir, belok kiri kearah komplek pemakaman, lalu belok kiri lagi dan selanjutnya ikuti jalan beraspal. Lokasi Candi Ngetos tepat disebelah kanan jalan.
Dulunya, Candi Ngetos disebut juga dengan Candi Tajum (Candi Kembar), karena di komplek percandian ini terdapat 2 candi yang sama dengan ukuran yang berbeda. Namun sekarang yang tersisa hanyalah sebuah candi yang terlihat tidak utuh namun masih menyisakan satu relief yang lumayan jelas disalah satu muka candi. Candi Ngetos ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 pada pemerintahan Kerajaan Majapahit. Dilihat dari bentuknya, komplek percandian ini merupakan komplek percandian makam. Keunikan Candi Ngetos ini adalah relief kepala Kala yang besar dibagian atas candi dan saat ini hanya bisa dilihat pada salah satu muka candi saja, yakni muka candi sebelah selatan.
Diperkirakan, bentuk komplek Candi Ngetos dulunya adalah lingkaran cincin dengan pagar yang terbuat dari bata merah (perbedaan bahan bangunan candi antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah) sama seperti badan induk candi dan diperkirakan dulunya atap candi terbuat dari kayu, yang sekarang ini sudah tidak ada bekasnya. Candi Ngetos ini bersifat Siwa-Wisnu sesuai dengan sifat Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Dimana Dewa Siwa adalah dewa utama dan Dewa Wisnu adalah dewa pendamping.
Perabuan Sang Agung di Ngatas Angin
Dulu ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Ngatas Angin dan masih merupakan satu kesatuan dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Ngatas Angin dipimpin oleh Raden Chondromowo yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwoto. Raden Ngabei Selopurwoto memimpin Kerajaan Ngatas Angin bersama patihnya, Raden Bagus Chondrogeni, yang pusat kepatihannya kira-kira 15 kilometer kearah barat Ngatas Angin.
Raden Ngabei Selopurwoto memiliki keponakan yang bernama Hayam Wuruk, Raja Majapahit kala itu. Hayam Wuruk Seringkali mengunjungi pamannya yang bertempat tinggal di Ngatas Angin sebelum Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit. Raja Hayam Wuruk berpesan kepada pamannya jika dia mati, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan disebuah candi di daerah Ngatas Angin. Kemudian Raden Ngabei Selopurwoto mendirikan komplek percandian di Ngatas Angin dengan menugaskan Empu Supo. Kemudian komplek percandian itu bernama Candi Ngetos.
Mengapa Sang Prabu Agung Majapahit ingin disemayamkan di sebuah daerah kecil padahal sewaktu itu Majapahit merupakan kerajaan terbesar dengan pusat kerajaan yang begitu ramai? Alasannya, karena Sang Prabu Agung seolah-olah menyamakan Gunung Wilis seperti Gunung Mahameru. Dan Sang Prabu Agung Tersebut ingin diperabukan ditempat itu.
Percaya maupun tidak, ini merupakan cerita rakyat setempat yang wajib dijaga sebagai bukti jika sejarah lisan telah masuk dan berkembang di wilayah Kabupaten Nganjuk di masa Kerajaan Majapahit. Namun sedikit bukti memperjelas keberadaan perabuan Sang Agung dari Majapahit ini, yakni pernyataan dari ahli sejarah Krom yang menyatakan jika di wilayah percandian Ngetos atau Tajum ini terdapat Paramasoeklapoera,tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk.Kata Tajumdapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf "NG"dapat berubah menjadi "M"tanpa merubah artinya. Misalnya, Singha berubah menjadi Simha yang kemudian dibaca Sima. Dan ini juga persis dengan pendapat ahli sejarah lain yang mengatakan jika Hayam Wuruk menginggal dan diperabukan di daerah Tajung, Berbek.
Candi, Kerusakan, dan Dampaknya
Miris memang, jika situs-situs sejarah yang merupakan bukti otentik sebuah kisah rusak bahkan hilang. Rusak atau hilangnya sebuah bukti sejarah akan memutus rantai sejarah tersebut (missing link) dan dapat menimbulkan kebohongan sejarah. Menuliskan sejarah yang bohong akan berdapak pada mengalirnya dosa sejarah dari waktu ke waktu (pernyataan penulis). Hehehe...
Tapi memang benar jika perawatan bukti sejarah di Indonesia itu kurang. Jika ada perawatan pada bukti sejarah, itupun hanya sebatas bukti-bukti sejarah yang bernilai besar. Entah besar dalam menyumbangkan kisahnya atau besar dalam menambah devisa negara melalui pariwisata. Pada dasarnya, sejarah itu menyambung, jika satu sambungan putus maka kisah sejarah akan sulit terdeteksi. Penyambung dari sejarah-sejarah besar tidak lain dan tidak bukan berasal dari sejarah-sejarah kecil yang tersembunyi.
Kerusakan bukti sejarah di wilayah-wilayah kecil tidak hanya di wilayah Jawa Timur saja, namun di seluruh provinsi di Indonesia. Ingat tragedi penjarahan situs Majapahit di Trowulan Mojokerto? Ini situs besar lhoo... bukan situs kecil lagi layaknya Candi Ngetos/ Tajum. Setelah perabuannya dibiarkan runtuh, sekarang Indonesia membiarkan rumahnya dijarah. Malang sekali nasibmu wahai Sang Prabu Agung Hayam Wuruk...
Ini pe-er siapa coba?? Jelas pe-erkita sebagai Makhluk yang tinggal diatas Negara Indonesia.
Ahahaha... (^_^)
 Makasih udah nyempatin waktu buat berkunjung dan baca yaa... Sampai bertemu ditulisan selanjutnya. Untuk judulnya, masi mikir ini... (o_O)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H